Masih hangat dalam benak Syamsuri saat tsunami yang tiba-tiba menerjang wilayah paling barat Pulau Jawa itu pada 2018, meluluhlantakkan wilayah Sumur di Kabupaten Pandeglang, Banten. Setahun berselang, gempa bermagnitudo 7,4 membuat ia dan keluarga mengungsi selama sepekan.
Kecamatan Sumur membawahi tujuh Desa. Syamsuri tinggal di Desa Tamanjaya, bersebelahan dengan Desa Ujungjaya yang menjadi penyangga Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK).
Tsunami akibat longsoran gunung Anak Krakatau dan gempa Magnitudo 7,4 tak hanya membuat kerusakan parah, termasuk menghajar sisi psikologis warga.
Pada 14 Januari 2022 sore membuat Syamsuri kembali memandang bentangan laut, memastikan air tak tiba-tiba surut. Saat itu, gempa berkekuatan 6,6 menerjang wilayah Banten. Gempa dangkal dengan kedalaman 40 km itu membuat hatinya berkecamuk. Jarak antara bibir pantai dengan permukiman warga tak kurang dari 200 meter.
Pikirannya liar, sembari membayangkan tsunami menerjang seperti pada 2018. Saat kondisi gelombang laut dirasa normal, ia lantas menggantungkan pandangannya ke sekeliling untuk memastikan kondisi bangunan. Tiba-tiba terdengar suara ambruk dari belakang rumahnya, tepatnya dapur milik pria yang menjabat Sekretaris Desa Tamanjaya itu roboh tak berbentuk.
Selain menyelamatkan keluarganya, sebagai sekdes, ia juga harus memastikan warga Tamanjaya telah terevakuasi. Sebab setelah gempa inti, terjadi lebih dari 30 gempa susulan. Tak ada korban jiwa, tapi 20 rumah mengalami rusak berat dan sudah sepatutnya tak ditinggali lagi.
Hal yang sama juga dialami Rohaeni. Gempa membuat rumahnya menjadi tak layak huni. Dinding tembok rumah Eni, panggian akrabnya, miring dan hanya tinggal menunggu waktu saja untuk benar-benar roboh.
Kini, dia beserta keluarga hanya bisa mengungsi di rumah kerabat yang kondisinya "agak" lebih baik. Sesekali ia memanfaatkan tenda darurat yang diberikan Kementerian Sosial untuk sekadar beristirahat sambil meninabobokkan balitanya.
Eni pun hanya bisa menunggu bantuan dari pemerintah. Rumahnya telah masuk pendataan untuk direhabilitasi, kendati tak tahu kapan akan diperbaiki.
"Untuk membangun kembali butuh uang yang banyak, saya tidak punya uang lebih untuk itu," kata Eni.
Bayang-bayang bencana
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menjelaskan daratan sekitar pusat gempa bumi di Banten pada umumnya berupa morfologi dataran dan perbukitan bergelombang hingga terjal yang tersusun oleh endapan sedimen berumur kuarter hingga tersier.
Endapan kuarter dan tersier yang telah mengalami pelapukan pada umumnya bersifat urai, lunak, lepas, belum kompak dan memperkuat efek guncangan, sehingga rawan gempa bumi.
Dari posisi lokasi pusat gempa bumi, kedalaman dan data mekanisme sumber dari BMKG, USGS Amerika Serikat dan GFZ Jerman, gempa bumi tersebut diakibatkan oleh aktivitas penunjaman Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Eurasia di selatan Jawa bagian barat (sekitar Selat Sunda).
Pada lokasi itu, mekanisme sesar naik yang berarah relatif barat laut-tenggara. Gempa bumi Magnitudo 6,6 merupakan gempa bumi yang terjadi pada bidang gesek antara kedua lempeng tersebut.
Melihat pada kondisi endapan yang telah mengalami pelapukan, maka tak heran gempa yang terjadi di sekitar wilayah Banten selalu diiringi dengan banyaknya kerusakan.
Berdasarkan data BMKG, telah terjadi delapan kali gempa yang merusak di sekitar Selat Sunda/Banten, mulai dari periode 1851 hingga Agustus 2019, sebelum gempa 6,6 M mengguncang pada awal tahun 2022 ini.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati merinci pada Mei 1851 gempa kuat di sekitar Teluk Betung dan Selat Sunda menyebabkan gelombang tsunami setinggi 1,5 meter, namun tidak ada laporan berapa kekuatannya. Kemudian pada 9 Januari 1852, gempa yang juga tidak diketahui kekuatannya menyebabkan tsunami kecil.
Pada 27 Agustus 1883 terjadi tsunami di atas 30 meter akibat letusan Gunung Krakatau. Lalu pada 23 Februari 1903 terjadi gempa Magnitudo 7,9 yang berpusat di selatan Selat Sunda dan menyebabkan kerusakan di Banten.
Pada 26 Maret 1928 terjadi tsunami kecil yang teramati di Selat Sunda pascagempa kuat, namun tidak diketahui berapa kekuatan getarannya. Pada 22 April 1958 terjadi gempa kuat di Selat Sunda diiringi dengan kenaikan permukaan air laut/tsunami.
Pada 22 Desember 2018 terjadi longsoran akibat letusan Gunung Anak Krakatau yang menyebabkan tsunami. Terakhir pada 2 Agustus 2019 terjadi gempa Magnitudo 7,4 yang merusak di Banten dan terjadi tsunami.
Perekayasa di Balai Teknologi Infrastruktur Pelabuhan dan Dinamika Pantai pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Widjo Kongko mengingatkan akan adanya potensi gempa bumi megathrust Selat Sunda yang mencapai Magnitudo 8,7.
Menurut dia, potensi gempa bumi megathrust Selat Sunda adalah Magnitudo 8,7, namun bisa saja lepasnya bersamaan dengan segmentasi di atasnya, yaitu megathrust Enggano, dan di sebelah timurnya megathrust Jawa Barat-Tengah.
"Jika pelepasan potensi gempa tersebut terjadi bersamaan, maka magnitudo gempa bumi bisa mencapai 9 atau lebih. Energi yang dihasilkan dari potensi gempa itu mirip dengan gempa bumi dan tsunami Aceh 2004," katanya.
Mitigasi yang masih gagap
Sudah tak terhitung berapa kali kementerian/lembaga, pemda, hingga LSM, datang ke wilayah Sumur untuk mengedukasi masyarakat dalam upaya mitigasi bencana. Namun tampaknya mitigasi yang terus digaung-gaungkan tak berdampak banyak. Gempa yang kerap terjadi seharusnya menjadi modal berharga agar kerusakan dan korban jiwa bisa terus direduksi.
Kenyataannya, gempa Magnitudo 6,6 telah merusak 3.078 rumah, dengan rincian 395 unit rusak berat, 692 unit rusak sedang, dan 1.991 unit rusak ringan yang tersebar di 30 kecamatan. Tingginya angka kerusakan, seolah menunjukkan upaya mitigasi ini masih jauh panggang dari api.
Dua desa paling ujung di Kecamatan Sumur, yakni Tamanjaya dan Ujungjaya, bahkan kekurangan papan informasi jalur evakuasi. Selain itu, tidak ada penerangan di jalur evakuasi sehingga menyulitkan pergerakan warga jika terjadi bencana pada malam hari.
Tak berhenti di situ saja, warga kesulitan mengakses informasi terkait situasi terkini setiap kali bencana terjadi. Sebab, jaringan komunikasi sangat terbatas dan tidak menjangkau semua operator seluler. Apalagi saat bencana terjadi, tak jarang sinyal komunikasi benar-benar terputus.
"Kalau gempa, mau gede mau kecil kami lari ke tempat evakuasi karena takut tsunami. Pokoknya lari aja ke bukit," ujar Deden (32), salah satu warga Desa Ujungjaya.
Pada akhirnya sistem mitigasi belum mengimbangi ancaman gempa, sehingga insting masih menjadi andalan warga dalam upaya penyelamatan diri.
Ketua Pusat Unggulan Iptek Sains dan Teknologi Kegempaan Institut Teknologi Bandung (ITB) Irwan Meilano menyebut upaya memahami dan mengurangi risiko bencana masih menjadi pekerjaan rumah yang mesti sesegera mungkin diselesaikan.
Padahal, memahami dampak skala risiko merupakan komponen paling penting untuk mereduksi kerusakan dan korban jiwa.
"Yang menjadi konsen saya, saya berharap pemerintah daerah mulai mengarusutamakan pengurangan risiko bencana, dalam upaya pembangunan itu mitigasi yang paling ideal," kata dia.
Bagi Irwan, mitigasi bukan untuk dihafalkan, melainkan bagaimana mitigasi bisa hidup sebagaimana kebutuhan. Untuk itu, peta konsep pembangunan mesti menyesuaikan dengan potensi kerentanan bencananya. Pembangunan yang tepat bisa menjadi salah satu kunci mitigasi bencana yang ideal.
"Itu menurut saya upaya mitigasi yang paling strategis. Memprioritaskan mitigasi sebagai bagian dari perencanaan pembangunan," kata dia.
Di samping itu, pemerintah daerah harus memasukkan manajemen risiko bencana dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Hal lainnya yang sangat penting adalah mendesain kurikulum pendidikan soal kebencanaan dengan mempertimbangkan kondisi wilayah masing-masing.
"Kalau pengalaman survei beberapa wilayah terdampak bencana, persoalan paling mendasar yaitu literasi soal bencana. Jadi saya khawatir itu yang tidak paham bencana. Bagaimana kita berbicara mitigasi kalau mereka belum paham. Itu hanya bisa diselesaikan kalau kita memiliki perencanaan kewenangan risiko bencana dalam konteks pendidikan yang baik," kata dia.
Celakanya lagi, minimnya pemahaman soal risiko bencana tidak hanya terjadi di masyarakat, tetapi termasuk para pimpinan daerah. Tak sedikit pemda yang masih gagap dalam memahami bencana, apalagi mitigasi.
"Yang lebih serius dari itu, pemerintah daerahnya tidak paham dengan bencananya. Pada saat pemahaman akan bencananya itu sendiri belum dimiliki. Kami paham setiap daerah punya prioritas persoalan, kami berharap mitigasi menjadi bagian dari solusi dari berbagai prioritas tersebut," kata dia.
Gagapnya para pemimpin daerah ini membuat banyak bencana alam di Indonesia terjadi atas alasan yang sama, yakni buruknya sistem mitigasi.
Memahami risiko bencana, kata dia, berarti memahami sumber gempa yang lebih detail, memahami kapasitas masyarakat dan memahami kondisi fisik lingkungan.
Percuma saja pemerintah membangun "Desa Tangguh Bencana" jika tidak didukung oleh pembangunan infrastruktur tahan gempa, jalur evakuasi yang memadai, serta sistem peringatan dini yang layak.
Hidup di kawasan rawan bencana memang tidaklah mudah. Pilihan bertahan maupun pindah sama saja susah. Yang terjadi, Syamsudin, Eni, dan warga lainnya, hanya mencoba berdamai dan berdoa agar nasib apes tak menimpa mereka, sembari berharap pemerintah membuat sistem mitigasi bencana yang ideal.
Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022