Ketua Forum DAS Sumsel Syafrul Yunardi di Palembang, Senin, mengatakan tanda-tanda kerusakan itu sudah terasa karena sejumlah pemukiman warga di daratan rendah Palembang mendapati air tawarnya sudah bercampur dengan air laut (payau).
“Saat musim kering, air asin masuk ke pemukiman warga sehingga air yang dikonsumsi payau, seperti di kawasan Jakabaring,” kata Syaful.
Ini menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan di kawasan bakau yang menjadi zona penyangga (buffer zone).
Baca juga: Anggota DPD RI tanam ratusan bakau di pantai Pulau Pramuka
Baca juga: Pohon mangrove ditanam di Kuta Mandalika
Kerusakan bisa disebabkan oleh ulah manusia yang memanfaatkan alam secara masif tanpa memperhatikan pelestarian lingkungan.
Untuk itu, kegiatan seperti penanaman pohon di kawasan bakau harus digencarkan karena jika diabaikan maka akan menyebabkan kerusakan yang lebih parah.
Walau penanaman pohon yang dilakukan sebenarnya tidak dapat mengejar kerusakan alam yang terjadi, setidaknya upaya ini sedikit meredam.
Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Selatan Pandji Tjahjanto mengatakan pihaknya mencatat kondisi kawasan hutan bakau di Sumsel dalam status sangat kritis yakni 62,5 hektare dan 565 hektare dalam kategori kritis dari total 345.990 hektare.
Kondisi ini disebabkan banyaknya pembalakan liar serta aktivitas tambak dan perluasan pelabuhan.
Kerusakan ini mengakibatkan daya dukung hutan bakau sebagai penyedia nutrisi bagi ekosistem dan penjaga bentang daerah kawasan pesisir menjadi menurun.
Padahal, hutan bakau memiliki kemampuan menyimpan cadangan karbon yang tinggi yakni mencapai 891,70 ton karbon per hektare yang hampir setara dengan kemampuan hutan gambut.
“Saat ini yang menjadi fokus kami bagaimana memulihkan kawasan bakau di Kabupaten OKI dan Banyuasin,” kata Pandji.*
Baca juga: Tim FMIPA UI bantu cegah abrasi Pantai Muara Beting
Baca juga: Hkm Seberang Bersatu buka donasi pelestarian mangrove dan koral
Pewarta: Dolly Rosana
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022