Pengelolaan sumberdaya pesisir harus dilakukan secara bijaksana dan berkelanjutan. Pengetahuan tradisional (traditional knowledge) atau kearifan lokal (local wisdom) dalam mengelola sumberdaya berperan penting terhadap konservasi dan pengelolaan yang berkelanjutan. Pengetahuan tradisional ini sudah dikenal secara luas dan hal ini akan membantu para ilmuwan mengembangkan strategi bottom-up dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan kelautan. Bentuk kepedulian Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terhadap hal ini adalah diadopsinya pengetahuan dan kearifan masyarakat lokal dalam menyusun UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Salah satu pengetahuan dan kearifan tradisional yang harus diketahui, dipelajari dan dikembangkan adalah budaya masyarakat suku Bajo dalam mengelola sumberdaya pesisir dan laut, ucap Fadel.
Pelaksanaan seminar ini merupakan awal dalam mendapatkan gambaran mengenai pola pemberdayaan yang sesuai untuk masyarakat Suku Bajo. Pemberdayaan masyarakat Bajo harus dapat lebih menyentuh kebutuhan riil masyarakat bajo dengan dengan tetap melindungi hak tradisional dan adat yang dimiliki dalam memperoleh akses terhadap sumberdaya, keberlanjutan hidup dan kelestarian budaya. Suku Bajo merupakan suku yang hidup diatas perahu dan berpindah-pindah sesuai dengan potensi ikan yang akan ditangkap. Masyarakat menyebutkan suku bajo sebagai "pengembara laut" karena nenek moyang suku Bajo tercatat memasuki Sulawesi tepatnya di Gowa sejak tahun 1698, kemudian menyebar ke Manado, Ambogaya, Kalimantan, Sulawesi Tenggara, NTT, NTB,
Papua, Sumatera dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Bahkan, catatan Cina kuno dan penjelajah Eropa menyebut suku Bajo pernah menjelajah dari Perairan Merqui sampai Kepulauan Sulu. Dengan kata lain, orang Bajo memaknai laut sebagai ruang gerak mencari sumber nafkah dan ruang tempat tinggal serta persemayaman ruh nenek moyangnya.
Keunikan suku Bajo adalah menjadikan perahu atau sampan sebagai tempat untuk mencari nafkah dengan menjual berbagai hasil tangkapan laut sebagai mata pencaharian utama mereka. Sementara itu, istrinya berperan dalam mengelola ekonomi keluarga. Harga ikan dari hasil tangkapan suaminya biasanya ditentukan oleh istri. Dalam hal menangkap ikan, masyarakat Bajo sangat adaptif dengan lingkungan, seperti menjaga terumbu karang sebagai tempat tinggal ikan, bertelur dan tempat makan ikan. Masyarakat Bajo pun memilik kesadaran konservasi cukup baik, seperti terlihat dari adanya larangan taboo, yaitu larangan menangkap teripang yang berdiri karena diyakini sebagai raja teripang, setelah teripang rebah nelayan baru diizinkan untuk menangkap teripang di sekitarnya. Secara ilmiah teripang berdiri tersebut dalam keadaan bertelur, sehingga secara tidak disadari masyarakat Bajo menjaga keberlanjutan sumberdaya teripang. Kearifan masyarakat Bajo dalam pengelolaan sumberdaya laut juga terlihat dalam kegiatan penangkapan ikan karang hanya pada musim angin timur.
Salah satu permasalahan masyarakat Bajo adalah masih tingginya ketergantung terhadap tauke atau tengkulak untuk modal usaha. Ketergantungan ini mengakibatkan perekonomiannya terbelenggu karena bunga pinjaman memiliki suku bunga sangat tinggi. Berpijak pada hal itulah, KKP selama beberapa tahun terakhir melaksanakan program pemberdayaan masyarakat Bajo dengan tidak menghilangkan sisi sisi unik dari masyarakatnya. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kwalitas hidup dan kesejahtraan masyarakat yang dilaksanakan melalui 3 (tiga) kelompok, yaitu pemberdayaan tokoh/SDM,pemberdayaan kelembagaan dan pemberdayaan usaha.
Untuk keterangan lebih lanjut, silakan menghubungi Dr. Yulistyo Mudho, M.Sc, Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan (HP. 0811836967)
Pewarta: Masnang
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2011