"Dengan ancaman gelombang ketiga, tugas Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk menurunkan angka stunting semakin berat. Target 2024 adalah turun 10,4 persen, yaitu menjadi 14 persen. BKKBN bekerja keras mencapai target tersebut di tengah kondisi pandemi," kata Netty dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.
Oleh karena itu, ia meminta pemerintah untuk segera mengantisipasi agar gelombang ketiga tidak merusak target penurunan angka stunting dan memastikan langkah-langkah strategis program itu tetap dapat diimplementasikan di lapangan.
Lebih lanjut, Netty memaparkan tantangan-tantangan yang harus diatasi oleh pemerintah agar target penurunan angka stunting dapat tercapai.
Pertama, ujarnya, diperlukan sinkronisasi data milik Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial RI dengan data milik BKKBN.
Dengan demikian, menurut Netty, kesalahan penafsiran data tentang keluarga berisiko stunting dapat dihindari sehingga tidak berdampak pada pengambilan kebijakan yang keliru dan mempersulit penurunan angka stunting.
Baca juga: Enam provinsi capai angka stunting lebih 30 persen pada 2022
Baca juga: 24 kabupaten/kota di Sulsel bersinergi turunkan kekerdilan
Baca juga: Rutin jalankan audit, cegah dengan baik kekerdilan tak terdiagnosa
Selanjutnya, ada pula tantangan terkait penyediaan infrastruktur air bersih dan jamban sehat untuk keluarga Indonesia, terlebih di masa pandemi yang rentan terjadi penularan virus.
"Selain kekurangan energi kronik dan gizi, penyebab stunting secara tidak langsung adalah minimnya akses air bersih dan jamban sehat. Bagaimana mungkin keluarga dapat memenuhi kebutuhan gizinya, jika air bersih saja sulit didapat," ujarnya.
Bahkan, data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020 mencatat masih ada 9,79 persen rumah tangga Indonesia yang belum memiliki akses ke sumber air minum layak.
Lalu tantangan ketiga adalah pemerintah perlu memberikan perhatian dan dukungan terhadap kader penggerak yang merupakan ujung tombak penanganan stunting di lapangan.
"Kader petugas lapangan keluarga berencana (PLKB) dan posyandu sebagai aset berharga BKKBN perlu diberikan pelatihan untuk meningkatkan kompetensinya. Kesejahteraan dan jaminan sosial mereka juga perlu diperhatikan. Jangan sampai pemerintah menekan kader untuk bekerja maksimal melayani masyarakat, namun dukungan peningkatan kompetensi dan jaminan kesejahteraan diabaikan," imbaunya.
Tantangan lain yang harus diselesaikan pemerintah, kata Netty, adalah membangun koordinasi dan kolaborasi dengan setiap pemangku kepentingan.
"BKKBN sebagai pemimpin sektor penurunan angka stunting harus mampu menunjukkan kepemimpinan yang kuat. Bangun sinergi dan kolaborasi dalam menyelesaikan tantangan-tantangan tersebut. Program penurunan angka stunting tidak akan berhasil jika dihadapkan pada ego sektoral atau mentalitas 'silo' (mengutamakan pencapaian individu) dari para pemangku kepentingan," ujar Netty.
Kemudian, Netty pun mengimbau pemerintah untuk tetap fokus pada upaya penurunan stunting yang disesuaikan dengan kondisi pandemi dan ancaman gelombang ketiga COVID-19.
"Disiplin protokol kesehatan harus tetap diingatkan pada masyarakat. Diawali dari keluarga. Jangan lengah agar kita tidak menyesal karena pandemi merenggut banyak hal dari kehidupan kita," kata Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI ini.
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2022