• Beranda
  • Berita
  • LBH APIK apresiasi perbudakan seksual masuk DIM RUU TPKS

LBH APIK apresiasi perbudakan seksual masuk DIM RUU TPKS

7 Februari 2022 23:49 WIB
LBH APIK apresiasi perbudakan seksual masuk DIM RUU TPKS
Paparan yang disampaikan dalam acara Konsultasi Publik DIM RUU TPKS dengan K/L, Masyarakat Sipil dan Akademisi di Jakarta, Senin (7/2/2022). (ANTARA/ Anita Permata Dewi)
Koordinator Advokasi Nasional Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Ratna Batara Munti mengapresiasi masuknya pembahasan tentang perbudakan seksual dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU TPKS dari pemerintah.

"Ini sudah diakomodir di DIM pemerintah, kami sangat mengapresiasi untuk tetap dipertahankan dan kita akan berjuang di DPR bersama-sama," kata Ratna dalam acara Konsultasi Publik DIM RUU TPKS dengan K/L, Masyarakat Sipil dan Akademisi yang diikuti secara virtual di Jakarta, Senin.

Pihaknya menjelaskan pelaku perbudakan seksual bermaksud untuk melakukan pemerkosaan atau pencabulan dengan membuat orang lain di bawah kendalinya.

"Di dalam perbudakan seksual ini adalah setiap orang yang mencabut kebebasan seseorang atau membuat orang di bawah kendalinya dengan maksud melakukan perkosaan atau pencabulan, dipidana karena perbudakan seksual dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun atau paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp1,5 miliar," katanya.

Hal tersebut berbeda dengan makna perampasan kemerdekaan dalam KUHP yang tidak spesifik menjelaskan tentang niat pelaku.

"Inti dari perbudakan seksual adalah mencabut kebebasan seseorang. Itu bisa berarti fisik maupun psikis, termasuk dengan penjeratan utang. Jadi ini berbeda dengan perampasan kemerdekaan. Itu kan memang niatnya untuk merampas kemerdekaan. Kalau ini niatnya adalah memang dia melakukan, mengendalikan korban, tapi untuk melakukan kekerasan seksual, apakah itu perkosaan atau pencabulan," ujarnya.

Ratna mengatakan dengan peraturan yang ada, seringkali perbudakan seksual hanya dikenakan pidana yang rendah, tidak sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku.

"Kalau ketika melihat kasus itu, seringkali memang diterapkan adalah pasal perkosaan, kemudian juga ada pasal perampasan kemerdekaan, tapi ini tidak cukup, tidak cukup tepat ya untuk diterapkan pada persoalan ini, perbudakan seksual, karena kita tahu dampaknya berbeda, bahkan kasus yang di Medan itu 15 tahun disekap di sebuah gua. Nah apakah kita hanya menerapkan Pasal 285 yang hanya maksimal 12 tahun ya," katanya.

Oleh karena itu, LBH APIK mendorong perbudakan seksual diatur dengan peraturan tersendiri, sehingga dapat diberikan hukuman yang setimpal.

"Kita perlu melihat kualitas dari perbuatan ini, sehingga memang tepat ini harusnya ada pasal tersendiri, perbudakan seksual, sehingga hukumannya juga lebih sesuai dengan peristiwa dan dampak yang dialami korban," katanya.

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022