"Salah satu masalah besar adalah mendapatkan harga yang tepat atau harga relatif karbon, sehingga sistem fiskal perlu memobilisasi sumber daya domestik secara efektif," kata Mari dalam acara T20 Inception Conference secara daring di Jakarta, Rabu.
Di dalam negeri, negara-negara harus memiliki kerangka kerja, kebijakan, dan penguatan kelembagaan untuk memungkinkan pembiayaan masuk yang ditargetkan kepada masyarakat miskin, perubahan iklim, pembangunan, dan sebagainya.
Dengan demikian, ia mengatakan nantinya subsidi bahan bakar atau subsidi batu bara dapat direalokasikan untuk kegiatan berkelanjutan, penetapan harga karbon, pajak karbon, dan sebagainya.
Selain berpotensi meningkatkan penerimaan negara, pajak karbon juga akan membantu sebuah negara tumbuh secara berkelanjutan, sehingga diperlukan dorongan investasi baik dalam modal fisik, modal manusia, dan modal sumber daya alam.
"Kebutuhan untuk mencapai pertumbuhan dan pembangunan yang tangguh dan inklusif itu sangat besar," ucap Mari.
Menurut dia, investasi untuk pertumbuhan dan pembangunan yang berkelanjutan akan menjadi kunci untuk sebuah negara bergerak maju.
Namun, tentunya pembiayaan tersebut membutuhkan sektor swasta yang akan masuk dengan adanya reformasi yang telah dilakukan dan kebijakan pendukung dalam kerangka platform terintegrasi ketahanan hijau serta pemulihan, pertumbuhan, dan pembangunan inklusif.
Di sisi lain, integrasi domestik sebuah negara dengan dunia internasional juga sangat diperlukan dalam mencapai pertumbuhan dan pembangunan berkelanjutan.
Bank Dunia sendiri memiliki komitmen sebesar 35 persen alokasi pembiayaan untuk perubahan iklim atau sekitar Rp25 miliar dolar AS per tahun.
Baca juga: Bank-bank Eropa dan AS diminta bersiap hadapi serangan siber Rusia
Baca juga: Bank Dunia sebut integrasi dalam ekonomi dunia adalah kunci pemulihan
Baca juga: Bank Dunia: Negara "emerging market" tumbuh lebih lambat saat pandemi
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2022