...negara G20 mendorong peralihan penggunaan energi berbasis fosil yang menghasilkan emisi karbon dioksida kepada energi baru dan terbarukan (EBT) yang lebih ramah lingkungan.
Pertemuan tingkat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral dalam Presidensi G20 Indonesia telah menghasilkan 14 poin komunike yang merupakan komitmen dan pernyataan bersama para anggota forum G20G20.
Dari keempat belas poin tersebut, terdapat 2 poin yang menunjukkan komitmen Menteri Keuangan dan Bank Sentral negara anggota G20 untuk mengatasi perubahan iklim dan mendorong pemulihan ekonomi berkelanjutan, salah satu caranya dengan melakukan transisi energi yang juga menjadi fokus pembahasan Presidensi G20 Indonesia.
Melalui fokus ini, negara G20 mendorong peralihan penggunaan energi berbasis fosil yang menghasilkan emisi karbon dioksida kepada energi baru dan terbarukan (EBT) yang lebih ramah lingkungan.
Pertemuan tingkat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 juga turut melakukan pembahasan terkait transisi energi, antara lain dalam pembahasan pajak dan lingkungan, dorongan investasi pada infrastruktur berkelanjutan, pengembangan kerangka pendanaan transisi energi, peningkatan aksesibilitas dan keterjangkauan instrumen pendanaan berkelanjutan, serta implementasi peta jalan keuangan global berkelanjutan.
Pemerintah Indonesia sejak 2017 mulai melakukan transisi energi melalui Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang menargetkan bauran energi nasional mencapai 23 persen pada 2025 dan diharapkan terus meningkat menjadi 31 persen pada 2050.
Dari sisi keuangan, pemerintah juga akan memungut pajak karbon Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis Batubara pada 1 April 2022 yang didasarkan pada aturan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Baca juga: Menyelaraskan ekonomi biru dengan Presidensi G20
Pemungutan Pajak Karbon
Pungutan pajak karbon untuk PLTU akan menggunakan mekanisme pajak berdasarkan pada batas emisi atau cap and tax dengan tarif Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen untuk emisi yang melebihi batas yang telah ditetapkan.
Dalam mekanisme pengenaannya, wajib pajak dapat memanfaatkan sertifikat karbon yang dibeli di pasar karbon sebagai pengurang kewajiban pajak karbonnya.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu mengatakan Indonesia menjadi salah satu negara kekuatan ekonomi baru (emerging) yang paling pertama mengimplementasikan pajak karbon.
“Bahkan implementasi pajak karbon ini menjadikan Indonesia sejajar dengan negara-negara maju yang telah melaksanakan kebijakan pajak karbon ini, antara lain Inggris, Jepang, dan Singapura,” ungkap Febrio beberapa waktu lalu.
Pajak karbon bertujuan mendorong masyarakat beralih kepada aktivitas ekonomi yang rendah karbon dan lebih ramah lingkungan, terutama dalam penggunaan energi.
Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro memperkirakan potensi pendapatan pajak karbon atau carbon tax pada tahun pertama implementasinya di Indonesia akan mencapai sekitar Rp29 triliun sampai Rp57 triliun atau 0,2 persen sampai 0,3 persen dari PDB.
Satria menyatakan potensi tersebut akan tercapai dengan asumsi tarif pajak yang dikenakan sekitar 5 dolar AS sampai 10 dolar AS per ton CO2 yang mencakup 60 persen emisi energi
Penerimaan negara dari pajak karbon pun dapat dimanfaatkan untuk menambah dana pembangunan, investasi teknologi ramah lingkungan, atau memberikan dukungan kepada masyarakat berpendapatan rendah dalam bentuk program sosial.
Baca juga: Untuk ekonomi hijau dan biru di G20, BRIN dorong pemanfaatan kehati
Kurangi PLTU
Bersamaan dengan pemungutan pajak karbon, pemerintah berkomitmen akan mengurangi penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara yang mendominasi pembangkit listrik di Indonesia.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kapasitas PLTU berbahan bakar batu bara di Indonesia mencapai 36,9 gigawatt atau sekitar 50 persen dari total kapasitas pembangkit listrik yang sebesar 73,7 gigawatt.
Mulai 2026 hingga 2030, pemerintah menyatakan tidak akan menambah proyek PLTU baru, kecuali yang sedang dibangun atau sudah dilakukan penandatanganan kontrak sebelumnya.
Pada 2036 sampai 2040 Indonesia akan melanjutkan tahap kedua penghentian PLTU yang dilanjutkan pada 2051 sampai 2060 sebagai periode terakhir, sekaligus pengembangan hidrogen untuk listrik secara besar-besaran.
Baca juga: Akademisi Science20 diminta berkontribusi pada pemulihan ekonomi hijau
Taksonomi Hijau
Sementara itu, untuk mendukung lebih banyak proyek yang ramah lingkungan, pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga meluncurkan Taksonomi Hijau dalam Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan pada akhir Januari 2022.
Taksonomi Hijau ini diharapkan dapat mempermudah industri Sektor Jasa Keuangan (SJK) mengklasifikasi kegiatan usaha hijau atau ramah lingkungan dan mengembangkan produk dan atau portofolio jasa keuangan yang ramah lingkungan.
Selain itu, Taksonomi Hijau diharapkan dapat membantu proses pemantauan berkala dalam implementasi penyaluran kredit, pembiayaan, serta investasi ke sektor hijau dan mencegah potensi pelaporan aktivitas hijau yang kurang tepat (greenwashing).
Kepala Grup Kebijakan Sektor Jasa Keuangan Terintegrasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Enrico Hariantoro menyebut industri jasa keuangan merespon positif kehadiran Taksonomi Hijau mengingat mereka bahkan sudah mulai menyampaikan sustainability report dalam empat sampai lima tahun terakhir.
Melalui taksonomi ini, pemerintah memetakan sekitar 900 sub sektor lapangan usaha ke dalam hijau atau ramah lingkungan, kuning yang netral, dan merah untuk aktivitas ekonomi yang merusak lingkungan di dalam Taksonomi Hijau.
Ia mengatakan standar untuk pengklasifikasian aktivitas ekonomi tersebut mungkin akan berubah karena penyesuaian yang dilakukan oleh pemerintah, tapi standar tersebut akan terus dapat dipertanggungjawabkan.
Berbagai kebijakan dari pemerintah Indonesia tersebut diharapkan dapat semakin mendukung proses transisi energi dari berbahan bakar fosil kepada Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang selama ini dianggap lebih mahal.
Dengan demikian, Indonesia beserta negara anggota G20 lain akan dapat mencapai target Emisi Karbon Nol pada 2060 mendatang sesuai dengan kesepakatan dalam Perjanjian Paris.
Pencapaian target ini tak sekadar menunjukkan bahwa pemerintah dunia memenuhi komitmennya dalam melestarikan bumi, tapi juga penting agar anak-cucu di masa mendatang masih dapat menikmati hidup yang sehat di bumi.
Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2022