Menurut dia, dampak aksi terorisme yang mengatasnamakan agama adalah munculnya islamofobia untuk memperburuk citra Islam dan menentang ideologi negara.
"Perlu ditegaskan bahwa memang tidak ada kaitannya antara terorisme dengan agama, karena tidak ada satu pun ajaran agama yang membenarkan terorisme. Tetapi, terorisme berkaitan dengan pemahaman yang menyimpang dari subtansi agama oleh oknum umat beragama," kata Nurwakhid dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.
Saat menjadi narasumber seminar di Muktamar ke 22 Darud Dakwah wal Irsyad (DDI) di Samarinda, Selasa (22/2), Nurwakhid mengatakan tanpa banyak disadari terorisme yang sering kali mengatasnamakan Islam adalah fitnah terhadap Islam, karena bertentangan dengan ruh ajaran Islam rahmatan lil alamin.
Aksi dan narasi propaganda oleh kelompok radikal terorisme, lanjutnya, sangat jauh dari nilai agama yang mengajarkan perdamaian, persaudaraan, dan perdamaian.
"Kelompok radikal justru melakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama, seperti mengadu domba sesama masyarakat, ajakan tidak percaya terhadap negara, bahkan saling mengkafirkan sesama muslim. Tujuan kelompok ini sejatinya ingin membuat kegaduhan untuk menciptakan konflik," jelasnya.
Selain sebagai fitnah terhadap Islam, menurut Nurwakhid, radikal terorisme sebenarnya merupakan gerakan politik yang mempolitisasi agama, dengan tujuan mengganti dasar dan ideologi negara. Mereka memperalat dalil agama untuk kepentingan nafsu politiknya dalam menentang perjanjian luhur dan konsensus nasional.
Di dalam sistem demokrasi, semua pihak mendapatkan ruang kebebasan untuk menyampaikan gagasan dan pemikiran yang berbeda. Namun, tambahnya, pandangan dan ideologi yang digagas dan diusung tidak boleh bertentangan dengan perjanjian yang telah disepakati bersama sebagai komitmen berbangsa dan bernegara.
"Kita boleh berdebat tentang hal khilafiyah, tetapi hal yang tidak bisa ditawar dan menjadi kewajiban dalam beragama adalah menjaga dan merawat perjanjian. Mereka (radikal terorisme) adalah kelompok pembangkang atau bughot yang ingin mengganti dasar dan ideologi negara dengan mempolitisasi agama," ujar Ahmad Nurwakhid.
Oleh karena itu, dia meminta masyarakat harus menyadari terorisme sebagai virus yang lebih berbahaya dari virus COVID-19. Penyebaran virus terorisme itu sangat mudah menular melalui mata dan telinga masyarakat yang terhasut narasi radikalisme.
Baca juga: JMM: Santri garda terdepan kampanyekan Islam moderat
Baca juga: MUI minta mubaligh lawan dakwah bernuansa radikalisme di medsos
Baca juga: Wapres tegaskan pentingnya Islam "wasathiyah" untuk kerukunan nasional
Pewarta: Joko Susilo
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2022