• Beranda
  • Berita
  • Perlu pengendalian mobilitas masyarakat jelang Ramadhan cegah Omicron

Perlu pengendalian mobilitas masyarakat jelang Ramadhan cegah Omicron

24 Februari 2022 17:52 WIB
Perlu pengendalian mobilitas masyarakat jelang Ramadhan cegah Omicron
Tangkapan layar - Pakar mikrobiologi Universitas Indonesia Prof. dr. Amin Soebandrio, Ph.D dalam webinar DBS Asian Insights Conference 2022, Kamis, (24/2/2022) (ANTARA/Suci Nurhaliza)
Pakar mikrobiologi Universitas Indonesia (UI) Prof. dr. Amin Soebandrio, Ph.D mengatakan, pemerintah perlu memantau pergerakan masyarakat terutama menjelang Ramadhan dan lebaran agak tidak terjadi kerumunan demi mencegah kenaikan penyebaran COVID-19.

"Bulan puasa, ada aktivitas yang menyebabkan masyarakat berkumpul mulai dari salat tarawih, sampai nanti saat Hari Raya," ujar Amin dalam sebuah webinar pada Kamis.

Berkaca dari pengalaman tahun lalu, Amin mengatakan, pemerintah telah berhasil mengendalikan mobilitas masyarakat selama bulan Ramadan. Namun saat Idul Fitri, terjadi peningkatan mobilitas sehingga kasus COVID-19 di Indonesia mengalami puncaknya pada Juni-Juli 2021.

"Kita belajar dari pengalaman itu. Tidak hanya pemerintah, masyarakat juga. Kalau semua bisa disiplin, menerapkan 5M, di sisi lain pemerintah juga konsisten 3T, itu akan sangat luar biasa," kata Amin.

Varian Omicron, lanjut Amin, sebenarnya muncul pertama kali di Afrika Selatan pada November 2021 dan bukan turunan dari varian Delta yang muncul pada gelombang kedua.

"Kalau melihat negara-negara lain, prediksi puncak kasus COVID-19 khususnya varian Omicron, muncul dalam dua sampai tiga bulan sejak kasus pertama terdeteksi. Kemungkinan pola yang sama juga terjadi di Indonesia," jelas Amin.

Amin mengatakan, varian Omicron memang menyebabkan penularan COVID-19 menjadi lebih cepat. Pasalnya, varian tersebut memiliki jumlah mutasi yang lebih banyak dibandingkan varian-varian yang muncul sebelumnya. Mutasi tersebut dapat membuat Omicron bisa lebih beradaptasi dengan lingkungannya.

Meski demikian, Amin mengatakan mutasi tidak selalu dapat menguntungkan virus. Pada varian Omicron, mutasi umumnya tidak menimbulkan morbiditas atau gejala klinis yang berat.

"Pada dasarnya, risiko infeksi memiliki rumus, yaitu keganasan virus dikalikan dengan dosis virus, kemudian dibagi dengan kekebalan. Kekebalan terbentuk dari vaksinasi maupun infeksi alami ketika seseorang terpapar virus," ujar Amin.

Berdasarkan studi yang dilakukan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI, Kementerian Kesehatan, dan LBM Eijkman, lebih dari 70 persen populasi masyarakat Indonesia telah memiliki antibodi walaupun belum pernah dinyatakan positif COVID-19 maupun tervaksinasi. Sementara itu, dari populasi yang telah terkena COVID-19 dan tervaksinasi, 90 persen di antaranya telah memiliki antibodi.

Sehingga, menurut Amin, selain memantau pergerakan masyarakat, vaksinasi juga menjadi hal yang sangat penting untuk mengendalikan COVID-19.

"Inilah pentingnya menuntaskan vaksinasi. Kita harapkan dengan upaya itu, kita bisa betul-betul menurunkan jumlah kasus tanpa ada puncak-puncak lainnya," pungkasnya.

Baca juga: Produksi vaksin COVID ASEAN, Erick: Bukti kepercayaan dunia pada RI

Baca juga: Dunia harus bantu Korut dengan pasokan 60 juta dosis vaksin COVID

Baca juga: Hong Kong luncurkan paspor vaksin dan pembatasan COVID lebih ketat

Pewarta: Suci Nurhaliza
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2022