"Berikan pemulihan mendesak bagi korban dan keluarga penghilangan paksa tanpa menunggu prosedur hukum atau mekanisme administratif lain yang dapat membatasi-nya,” kata Theresia.
Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam media briefing bertajuk "Setelah 11 Tahun: Bagaimana Kabar Konvensi Anti Penghilangan Paksa?" yang disiarkan di kanal YouTube INFID TV, dipantau dari Jakarta, Jumat.
Adapun yang termasuk ke dalam upaya pemulihan mendesak tersebut adalah pemberian layanan kesehatan dan psikologis, khususnya bagi korban dan keluarga korban yang mengalami trauma.
"Khusus bagi korban perempuan penghilangan paksa yang selamat, layanan psikologis dan pemulihan trauma harus dilakukan secara berkala," ujarnya.
Baca juga: Komnas Perempuan: Integrasikan gender di Konvensi Penghilangan Paksa
Baca juga: Pemerintah diminta ratifikasi konvensi perlindungan penghilangan paksa
Selain itu, tutur ia melanjutkan, korban juga harus memperoleh akses untuk mendapatkan layanan kesehatan dan reproduksi yang memadai, proporsional, dan sesuai dengan kebutuhan mereka.
"Penting mengakui jenis-jenis kerugian tertentu yang korban perempuan derita, termasuk kekerasan seksual yang dialami dan akibat kerusakan psikologis, stigma sosial, serta gangguan pada kehidupan keluarga," kata Theresia.
Penilaian terhadap dimensi gender dari kerugian yang diderita sangat penting untuk memastikan bahwa perempuan diberikan reparasi yang memadai, efektif, dan cepat untuk pelanggaran yang diderita selama konflik.
Sebagai langkah yang komprehensif, reparasi harus dilakukan untuk mengubah ketidaksetaraan struktural yang menyebabkan pelanggaran hak-hak perempuan, menanggapi kebutuhan khusus perempuan, dan mencegah terulang-nya kembali peristiwa kejahatan kemanusiaan.
"Kejahatan penghilangan orang secara paksa, khususnya bersinggungan dengan dimensi gender, telah menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia yang berlapis kepada perempuan," tutur dia.
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2022