"Kita jadi sadar, konsep sembuh itu bukan hanya soal hasil PCR (polymerase chain reaction) negatif kemudian dikatakan sembuh. Ternyata ada pengaruh sisanya dan virus ini, termasuk HIV (human immunodeficiency virus), dampaknya menyeluruh ke sistem tubuh kita," kata Pandu dalam lokakarya daring jurnalis oleh Kementerian Kesehatan yang diikuti dari Jakarta, Jumat.
Baca juga: 'Long COVID' menjadi isu global bagi pasien dan sistem kesehatan
SARS-CoV-2, katanya, berpengaruh sistemik pada tubuh, apalagi kalau ada reaksi inflamasi dan yang paling ditakuti kalau berlanjut pada gangguan ke syaraf pusat.
Menurut dia, banyak yang bisa terjadi akibat infeksi Omicron. Karenanya, yang terbaik adalah mencegah supaya tidak terinfeksi.
"Memang sebagian besar tidak bergejala. Hanya sebagian kecil yang sakit dan kemudian meninggal. Tapi, tetap ada kan yang di antara mereka jadi kronis," kata Pandu.
Upaya utama mencegahnya, kata Pandu, dengan secara benar menggunakan masker. Kebiasaan lain, yaitu mencuci tangan dengan sabun, seperti dokter yang hendak melakukan operasi, itu untuk menghabisi semua virus yang melekat di kulit.
Perhatikan ventilasi udara pastikan mengalir keluar, terlebih jika ada yang batuk dalam ruangan dan yang paling penting, pertahankan kesehatan dengan berolahraga rutin, mengkonsumsi makanan bergizi, berhenti merokok, vaksinasi jangan ditunda dan segera dapatkan vaksin penguat.
Baca juga: Riset: Penerima vaksin cenderung tak alami 'long COVID'
Baca juga: Pakar kedokteran UI: "Long COVID-19" harus menjadi perhatian
Spesialis Paru dari RSUP Fatmawati, Erlina Burhan mengemukakan memang belum ada data lengkap terkait fatalitas varian Omicron terhadap penderita long-COVID,
Berbeda dengan varian Delta yang hingga saat ini, dirinya masih menerima pasien long-COVID karena terinfeksi varian Delta. "Saya harap tidak ada kasus seperti itu pada yang terinfeksi Omicron," ucapnya.
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2022