"Memasuki musim pancaroba, berbagai masalah kesehatan di negara tropis kembali hadir. Salah satu yang perlu diwaspadai adalah demam berdarah dengue (DBD), " ujar dokter yang berpraktik di RS Pondok Indah – Bintaro Jaya itu melalui keterangan tertulisnya, Selasa.
Baca juga: Di tengah pandemi COVID-19, DBD di Karawang-Jabar capai 278 kasus
DBD disebabkan virus dengue yang dibawa nyamuk Aedes Aegepti. Penyakit ini ditandai dengan gejala khas seperti demam tinggi tanpa disertai gejala lainnya, misalnya tanpa disertai batuk, pilek, ataupun sesak napas. Beberapa pasien juga mengeluhkan gejala nyeri di belakang mata, sakit kepala, nyeri sendi, hingga munculnya bercak merah pada kulit atau perdarahan.
"Meski demikian, biasanya bercak merah pada kulit belum terlihat pada hari-hari awal," kata Debbie.
Menurut Debbie, walaupun termasuk self-limiting disease atau penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya, tak jarang penyakit DBD menimbulkan korban jiwa jika tidak cepat ditangani. Terlebih lagi jika pasien DBD telah memasuki fase berbahaya, dan terjadi pada anak-anak berusia lebih kecil yang belum dapat mengutarakan kondisi mereka. Oleh karena itu, tak sedikit pasien DBD kemudian dirawat di rumah sakit untuk dipantau lebih ketat kondisinya.
Mengenai perjalanan penyakit, ada tiga fase DBD, yakni hari 1-3 disebut fase febrile tanpa perdarahan. Dalam fase ini biasanya terjadi gejala awal seperti demam tinggi, sakit kepala, nyeri sendi, dan nyeri belakang bola mata.
Baca juga: Kasus DBD di Jakarta Pusat turun 25 persen
Setelah memasuki hari 4-5, demam cenderung turun. Pada tahap ini, pasien mulai memasuki fase kritis. Dalam kasus pasien anak, kebanyakan orangtua tidak mewaspadai fase ini ketika demam turun sehingga mengira si kecil justru sudah mulai sembuh.
Padahal, pada fase ini risiko terjadinya syok jauh lebih besar. Selain itu, dapat terjadi pula penurunan trombosit lebih jauh yang ditandai dengan perdarahan, seperti mimisan, gusi berdarah atau timbul bintik-bintik merah pada kulit yang spontan.
Pada fase kritis terjadi perembesan plasma darah sehingga terjadi peningkatan kekentalan darah atau hematokrit dan hal ini penting diwaspadai. Pada fase ini, pasien memerlukan banyak cairan dengan banyak minum atau pemberian cairan infus.
"Jika kebutuhan cairan tidak tercukupi, risiko si kecil mengalami syok yang dapat membahayakan jiwa akan meningkat. Apalagi jika syok tidak teratasi dalam waktu cepat, kemungkinan akan terjadi komplikasi perdarahan hebat yang akan sulit diatasi," jelas Debbie yang juga tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) itu.
Perdarahan terjadi bukan hanya disebabkan jumlah trombosit yang sangat menurun, tetapi juga disebabkan gangguan fungsi pembekuan darah.
Risiko lain yang dapat terjadi pada fase kritis ini yaitu gangguan kesadaran, gangguan fungsi ginjal, serta gangguan fungsi hati dan organ lainnya. Kondisi ini dapat terjadi pada kurang lebih 30 persen kasus dengue berat.
Baca juga: Dokter: DBD bisa dicegah dengan kesadaran pola hidup bersih
Pada umumnya, kasus DBD yang ditangani dengan kecukupan cairan dengan baik akan terhindar dari kemungkinan terjadinya komplikasi yang berat. Debbie mengatakan, inilah pentingnya perawatan di rumah sakit.
Fase ketiga yakni fase pemulihan atau penyembuhan, yang biasanya terjadi pada hari ke 6-7. Pada fase ini demam sudah mulai turun, kondisi tubuh pun perlahan membaik. Untuk mempercepat pemulihan pasien, sebaiknya pilih asupan nutrisi yang baik untuk meningkatkan daya tahan tubuh, termasuk kadar trombosit.
DBD seperti penyakit akibat infeksi lainnya sama-sama diawali demam, meskipun setiap penyakit biasanya memiliki gejala khas masing-masing. Untuk membedakan DBD dengan penyakit lainnya yang juga biasanya diawali dengan demam, pemeriksaan darah yakni pemeriksaan antigen NS1 dengue bisa menjadi pilihan.
Debbie lalu memberikan tips agar terhindar dari DBD yakni menjaga imunitas. Hal ini dapat dilakukan dengan pemenuhan nutrisi yang baik, yaitu dengan mencukupi asupan makronutrien seperti karbohidrat, protein, lemak dan mikronutrien yakni vitamin, mineral yang tepat. Selain itu, dapat juga diperkuat dengan pemberian vaksin dengue pada seseorang yang telah berusia 9-16 tahun.
Di sisi lain, pengendalian lingkungan juga penting untuk dilakukan demi mencegah nyamuk pembawa virus berkembang biak. Nyamuk umumnya menyukai tempat penampungan air yang bersih seperti kolam atau bak mandi.
"Jadi, tempat-tempat penampungan air harus sering dikuras. Bersihkan pula wadah penampungan air yang memudahkan nyamuk bersarang dan bertelur," kata Debbie.
Langkah selanjutnya, periksa kamar termasuk kamar milik anak, hindari banyak gantungan baju atau barang-barang untuk menghindarkan nyamuk bersarang. Anda juga dapat melakukan penyemprotan atau fogging untuk membunuh nyamuk-nyamuk dewasa dan mematikan telur-telur nyamuk dengan abatisasi. Anda dapat memasukkan bubuk abate ke dalam sumber-sumber air sehingga telur-telur nyamuk akan mati dan proses reproduksinya terhenti.
Hal senada juga diungkapkan Dokter Spesialis Anak Sub Spesialisasi Penyakit Infeksi Tropik sekaligus Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia, Dr. Nina Dwi Putri, SpA(K), MSc (TropPaed). Nina mengatakan, genangan air dapat digunakan sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk dan berpotensi meningkatkan paparan infeksi dengue. Infeksi virus dengue termasuk salah satu penyakit umum yang menyerang anak-anak dan orang dewasa di musim hujan dan terjadi di daerah tropis. Dia mengingatkan pentingnya penerapkan 3M plus untuk memberantas sarang nyamuk dan menghindari gigitan nyamuk.
Baca juga: Tak hanya COVID-19, masyarakat diminta tetap waspadai demam berdarah
Baca juga: Mewaspadai puncak siklus 10 tahun kasus DBD
Baca juga: Swasta dilarang lakukan "fogging"
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2022