"Hal tersebut perlu dilakukan agar Indonesia dapat mengurangi risiko defisit transaksi berjalan melalui peningkatan pendapatan dari sektor migas dan minerba," kata Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto dalam keterangan di Jakarta, Selasa.
Menurut Mulyanto tingginya harga migas dunia adalah angin segar bagi iklim investasi sektor migas domestik, yang sebelumnya sempat merosot karena diterpa isu energi baru terbarukan (EBT).
Untuk itu, ujar dia, kondisi ini juga merupakan kesempatan baik bagi industri migas untuk meningkatkan eksplorasi dalam rangka menggenjot produksi.
Baca juga: Minyak tembus 100,99 dolar AS/barel dipicu sanksi Barat terhadap Rusia
Dengan demikian, lanjutnya, maka peningkatan produksi minyak domestik secara langsung dapat mengurangi tingkat ketergantungan Indonesia pada impor BBM, sekaligus menekan defisit transaksi berjalan di sektor migas.
Ia mengingatkan bahwa ekses produksi gas alam yang bertambah dapat meningkatkan kinerja ekspor komoditas energi ini di tengah harganya yang melambung, dalam rangka meningkatkan penerimaan devisa negara.
“Logika yang sama juga berlaku untuk komoditas batubara, yang akhir-akhir ini menjadi durian runtuh alias windfall profit bagi PNBP kita. Termasuk juga ekspor komoditas CPO,” paparnya.
Artinya, kata Mulyanto, melonjaknya harga energi dunia, yang akan menguras devisa kita untuk keperluan impor migas, sebenarnya dapat dikompensasi dengan penerimaan ekspor komoditas energi lainnya seperti batu bara, gas alam dan juga CPO.
Baca juga: Pemerintah harus antisipatif hadapi kenaikan harga minyak dunia
Sebagaimana diwartakan, harga minyak di pasar internasional pada perdagangan Senin (Selasa, WIB) melonjak di atas 100 dolar AS per barel, karena investor mulai memperhitungkan dampak sanksi terbaru negara-negara Eropa terhadap Rusia.
Minyak mentah Brent untuk pengiriman April tercatat naik 3,06 dolar atau 3,1 persen, menjadi 100,99 dolar per barel di London ICE Futures Exchange.
Sementara, West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman April bertambah 4,13 dolar AS, atau 4,5 persen, menjadi menetap di 95,72 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange.
"Kenaikan harga yang mencolok disebabkan oleh sanksi yang dikenakan pada Rusia oleh Barat, yang kemudian diperketat lagi secara signifikan pada akhir pekan," Carsten Fritsch, analis energi di Commerzbank Research.
Amerika Serikat bersama dengan Eropa dan sekutu lainnya, mengeluarkan pernyataan bersama pada hari Sabtu (26/2) yang mengatakan mereka akan menghapus beberapa bank Rusia dari Society Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) atau sistem pembayaran untuk sebagian besar transaksi keuangan internasional, sebagai tanggapan atas operasi militer Moskow yang sedang berlangsung di Ukraina.
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022