• Beranda
  • Berita
  • Epidemiolog: Dua tahun pandemi, persepsi risiko publik belum maksimal

Epidemiolog: Dua tahun pandemi, persepsi risiko publik belum maksimal

2 Maret 2022 15:49 WIB
Epidemiolog: Dua tahun pandemi, persepsi risiko publik belum maksimal
Potret Epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman. ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti

hati-hati kalau mendapatkan informasi dari luar negeri

Epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan memasuki tepat dua tahun pandemi COVID-19 persepsi risiko di Indonesia masih belum terbentuk maksimal meski sudah memahami protokol kesehatan.

“Kita juga masih melihat, ada yang sifatnya masih naik-turun. Kadang bagus, kadang masih harus diperbaiki dan itu strategi komunikasi risiko,” kata Dicky saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Rabu.

Dalam membentuk persepsi publik saat menghadapi pandemi COVID-19, beragam strategi yang dijalankan oleh pemerintah sejak awal memang sudah benar. Hanya saja, sejumlah kebijakan yang diterapkan seringkali membingungkan dan belum dapat menyampaikan inti dari pesan yang ingin disampaikan.

Belum terbentuknya persepsi risiko itu disebabkan oleh kebijakan yang terlalu sering berubah dan diterapkan dalam waktu yang terbilang singkat. Sehingga tak jarang masyarakat sulit untuk beradaptasi dengan kebijakan itu.

Baca juga: Kemenkes sebut vaksin picu komorbid persepsi keliru
Baca juga: Epidemiolog minta pemerintah samakan persepsi COVID-19 setiap daerah

Pemerintah, kata dia, seharusnya membuat kebijakan yang responsif. Artinya, setiap kebijakan yang nantinya akan diterapkan sudah dipersiapkan dari jauh hari dan telah memperhitungkan berbagai risiko yang akan terjadi.

Selain itu, berbagai antisipasi harus berbasis data yang sudah dikumpulkan jauh-jauh hari. Bukan menerapkan kebijakan yang bersifat reaktif atau baru membuat dan menerapkan kebijakan di saat sebuah kejadian ataupun kasus baru muncul.

“Ini yang harus diubah Indonesia, karena strategi komunikasi risiko dan juga kebijakan yang lebih responsif itu yang akan membangun kepercayaan publik,” ujar Dicky.

Di sisi lain nyatanya tak hanya kebijakan yang diterapkan secara cepat saja, tetapi banyaknya pihak yang berbicara mengenai COVID-19 membuat masyarakat dituntut untuk menerima banyak informasi penting dalam sehari. Akibatnya, tingkat kebingungan semakin tinggi.

“Tidak ada kesinkronan atau sinergi antarsektor. Terlalu banyak yang berbicara, terlalu banyak institusi untuk berbicara,” kata DickyDicky

Baca juga: Ada persepsi masyarakat bahwa COVID-19 bakal selesai sendiri
Baca juga: Mewujudkan persepsi positif negara dari sukses vaksinasi

Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prof. Zubairi Djoerban mengatakan pemerintah seharusnya memberikan pemahaman yang disesuaikan dengan kondisi negara saat masyarakat mendapatkan informasi dari luar negeri.

Sebagai contoh pada saat negara di Eropa akan mulai melepas masker dan tidak menerapkan kebijakan karantina. Namun itu karena cakupan vaksinasi mereka yang sudah tinggi, berbeda dengan Indonesia yang masih berusaha mengejar distribusi vaksin secara merata.

Zubairi juga mengatakan meskipun pemahaman terkait pandemi belum maksimal, masyarakat Indonesia sudah mulai memahami pentingnya disiplin menjaga protokol kesehatan. Seperti tidak menggunakan menggunakan masker kain saat berpergian juga mengikuti vaksinasi COVID-19.

“Banyak masyarakat kita terpapar oleh informasi yang ada di Amerika, Inggris, Prancis. Padahal kalau diterapkan di negara kita, itu belum waktunya. Jadi tolong hati-hati kalau mendapatkan informasi dari luar negeri,” kata dia.

Baca juga: Simulasi "TGF" di Sumatera Utara satukan persepsi penanganan COVID-19
Baca juga: Dokter Tirta: Infodemik sebabkan masyarakat bingung tanggapi COVID-19
Baca juga: Epidemiolog: Infodemik masih jadi tantangan usai dua tahun pandemi

 

 

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022