Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nusa Tenggara Barat, I Gede Putu Aryadi menyatakan hingga saat ini pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke Malaysia masih ditutup."Karena Malaysia tidak buka, kita alihkan warga di perkebunan sawit di Kalimantan. Mereka berangkat secara bertahap misalnya 20 orang sekali jalan..."
"Pada prinsipnya kita ingin mengedepankan keselamatan dan perlindungan dan sejauh ini belum ada penandatangan MoU antara Indonesia dan Malaysia," kata I Gede Putu Aryadi di Mataram, Jumat.
Ia menjelaskan, pemerintah Indonesia masih bernegosiasi terkait dengan perlindungan kerja bagi PMI serta masalah gaji.
"Pemprov NTB dalam hal ini masih menunggu kebijakan pemerintah pusat terkait dengan hal itu," ujarnya.
Menurutnya, menyiasati penutupan tersebut, Pemprov NTB mengarahkan kepada para pekerja yang ingin ke Malaysia untuk mengalihkan tujuan kerjanya ke Kalimantan, sebab di sana perkebunan sawit membutuhkan tenaga yang terampil.
Untuk sementara ini, sudah ada 800 tenaga kerja asal NTB yang ditempatkan di perkebunan sawit Kalimantan.
"Karena Malaysia tidak buka, kita alihkan warga di perkebunan sawit di Kalimantan. Mereka berangkat secara bertahap misalnya 20 orang sekali jalan karena tidak boleh berkerumun kan," terang Aryadi.
Sistem penggajian di perkebunan sawit Kalimantan, kata Aryadi, menggunakan sistem borongan, sehingga potensi pendapatan tenaga kerja semakin tinggi. Mereka yang rajin bekerja, tentu akan mendapatkan gaji yang lebih banyak.
"Rata-rata mereka terima sebulan itu Rp5 juta sampai Rp10 juta, tergantung rajinnya dia. Di Malaysia malah tidak sampai gajinya segitu gajinya," katanya.
Sebenarnya tidak hanya 800 orang pekerja asal NTB yang dicari oleh pengusaha sawit di Kalimantan, namun kuota pemberangkatan dari NTB sebanyak 2.000 orang. Tingginya permintaan tenaga kerja asal NTB ini tak terlepas dari banyaknya PMI asal daerah ini yang berminat bekerja ke Malaysia di perkebunan sawit, namun terkendala oleh masih ditutupnya negara tersebut.
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Pengusaha Pekerja Migran Indonesia (APPMI) Provinsi NTB H Muazzim Akbar mengatakan, di tahun 2021 lalu, pihaknya juga sudah melakukan komunikasi dengan sejumlah pihak agar segera dibuka kesempatan kerja ke Malaysia. Misalnya APPMI telah bertemu dengan Wakil Gubernur NTB dan juga telah melakukan rapat bersama dengan Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziah di kantor DPD RI.
Setelah dilakukan komunikasi terkait dengan hal itu, Kemnaker bersama dengan Kementerian Buruh Malaysia sudah beberapa kali menggodok MoU tentang penempatan kerja ke Malaysia. Namun demikian, salah satu MoU yang sampai saat ini belum muncul kesepakatan yaitu terkait dengan upah minimum PMI di Malaysia.
"Pemerintah Indonesia menginginkan upah minimum untuk pekerja Indonesia yang ada di sana minimal 1.500 ringgit per bulan, namun di dalam MoU kita sekarang (yang masih berlaku) yaitu masih 1.200 ringgit," kata Muazzim Akbar.
Menurut Muazzim, pentingnya Malaysia dibuka untuk PMI mengingat dari laporan yang diterimanya saat ini nyaris setiap hari masyarakat Lombok berangkat ke Malaysia melalui jalur ilegal. Jumlahnya diperkirakan sebanyak 50 - 100 per hari berangkat melalui Tanjung Pinang, Riau atau Batam. Calon PMI ini juga ada yang masuk ke Malaysia menggunakan paspor wisata. Setelah di Malaysia biasanya baru akan diurus visa kerjanya oleh majikannya.
Adapun calon PMI NTB yang sudah mengantongi visa dan siap berangkat jika sewaktu-waktu pintu Malaysia dibuka yaitu sebanyak 2.800 orang.
Di tahun 2020 ada 2.800 orang calon PMI ini sudah siap akan terbang ke Malaysia, namun karena negara tersebut sudah dilanda COVID-19, sehingga tidak jadi diberangkatkan.
Baca juga: Disnakertrans: Pengiriman PMI ke Malaysia masih ditutup, waspada calo
Baca juga: Polres Karimun gagalkan penyelundupan 7 pekerja ilegal ke Malaysia
Baca juga: Polda NTB ungkap tarif penyalur berangkatkan PMI ilegal ke Malaysia
Pewarta: Nur Imansyah
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2022