Di saat ledakan senjata berkecamuk di Ukraina, salvo pembuka perang ekonomi dan politik mulai menghantam G20.Berlebihan mengharapkan Indonesia mendamaikan krisis Ukraina lewat G20 yang sarat dengan 'national interest' anggotanya
Relevansi G20 menjadi taruhan. Eksistensi organisasi ekonomi dan finansial dunia ini terancam saat kehadiran Rusia dipertanyakan anggotanya sendiri.
Menurut laporan Reuters, saat sidang Dewan HAM PBB 1 Maret 2022, terjadi walk out dari puluhan delegasi saat Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov hendak menyampaikan pidatonya. Jika para diplomat tingkat tinggi begitu gampang melakukan walk-out di Jenewa, apa yang akan dilakukan pada rangkaian pertemuan G20 di Indonesia?
Perdana Menteri Australia Scott Morrison saat mengumumkan bantuan financial untuk Ukraina pada 1 Maret, menyatakan, tidak menutup kemungkinan mengusir Rusia dari G20. “(Rusia) memilih menjadi negara paria,” katanya.
Sangat ironis bahwa G20 sebagai ajang pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral, kini dihadapi realita bahwa salah satu bank sentral dalam G20 disanksi oleh sesama anggota lainnya.
“Kita picu runtuhnya ekonomi Rusia,” kata tegas Menteri Keuangan Prancis Bruno Le Maire dengan tegas saat menjelaskan tujuan sanksi kepada bank sentral Rusia, sebagaimana dikutip Financial Times (4/3/2022).
Sudah ada preseden bagaimana negara Barat berikhtiar menghalau Rusia dari G20. Pasca-aneksasi Krimea 2014, Moskow diusir dari G8. Timbul perdebatan serupa menjelang KTT G20 Brisbane 2014. Namun tidak ada konsensus dalam G20 yang anggotanya lebih majemuk dan tidak didominasi negara Barat. Presiden Vladimir Putin pun tetap hadir di KTT Brisbane.
Sebagai Ketua G20 tahun ini, Indonesia akan dipojokkan dalam posisi yang sulit. Kalangan publik yang kurang peka terhadap nuansa diplomasi dan diskursus sejarah Eropa memvonis Indonesia tidak tegas. Padahal Indonesia secara kategoris telah menolak agresi Moskow dan mendukung Resolusi PBB yang mengecam invasi Rusia dan menuntut penarikan mundur pasukan dari Ukraina.
“Kita ikut menjadi bagian dari sponsor resolusi tersebut, dan bahkan ikut di dalam proses merumuskan beberapa elemen dari resolusi," kata Juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah. Pada saat Indonesia tegas mendukung Resolusi PBB itu, tiga negara G20 – Afrika Selatan, China dan India - justru “abstain” saat voting.
Sungguh munafik jika ada anggota G20 yang akan menekan kepemimpinan Indonesia agar bisa menuju suatu G19.
Tengoklah sejarah. Delapan bulan setelah Rusia melakukan invasi ke semenanjung Krimea, Putin disambut baik oleh Perdana Menteri Australia saat itu, Tony Abbott, di KTT 20 Brisbane 2014. Bahkan di KTT itu Putin dan Abbott serta pimpinan dunia lainnya seperti Presiden Amerika Barack Obama, berpose akrab sambil menggendong Koala yang menjadi ikon Australia.
Sama seperti Resolusi PBB yang dikeluarkan 2 Maret lalu, pada Maret 2014 pasca-aneksasi Krimea, PBB juga mengeluarkan resolusi yang mendukung integritas wilayah Ukraina dan menolak referendum pro-Rusia di Krimea. Empat anggota G20 abstain: Afrika Selatan, Brazil, China, dan India.
Bagaimana Indonesia saat itu? Konsisten menolak agresi dan aneksasi militer serta mendukung Resolusi PBB tahun 2014. Sungguh aneh jika ada yang masih menganggap Indonesia tidak berpihak atau ambigu dalam kebijakannya.
Dalam posisinya sebagai Ketua G20, Indonesia terseret dalam eskalasi pusaran strategi Pembendungan (Politics of Containment) yang dilancarkan negara Barat menghadapi invasi Rusia ke Ukraina. Strategi yang terdiri atas tiga jurus: isolasi politik, pelemahan ekonomi Rusia, dan destabilisasi internal dengan mengoyak kebanggaan nasional (national pride).
Strategi containment telah melebar ke G20. Saat pertemuan Finance Track G20 di Jakarta Februari lalu, peringatan keras dilontarkan oleh Menteri Keuangan Kanada kepada Rusia. Karena invasi militer Rusia saat itu belum terjadi, pernyataan akhir pertemuan di moderasi dengan nada yang lebih lunak. Guna melemahkan kekuatan ekonomi Rusia, sanksi adalah alat yang akan memiriskan dompet pemerintahan Presiden Putin. Namun efektivitas sanksi ekonomi tidak berdampak cepat. Prasyarat keberhasilan sanksi ekonomi adalah pemain utama ekonomi global harus bersatu melakukannya.
Saat Amerika dan negara Eropa Barat berkoalisi untuk memberikan sanksi kepada Iran, mereka mampu membawa Teheran ke dalam perjanjian pembatasan pengembangan nuklir pada 2015. Tapi saat Presiden Donald Trump pada 2018 memutuskan keluar dari perjanjian itu dan menerapkan sanksi secara unilateral, kebijakan Trump gagal dan justru memicu Iran untuk melanjutkan program nuklirnya.
Sebagai ekonomi nomor 11 terbesar di dunia, Rusia bagian integral dari ekonomi dan perdagangan dunia. Rusia mengekspor lebih dari 2 juta barel minyak per hari ke negara Eropa lainnya. Setengah kebutuhan gas Jerman disuplai Rusia. Bahkan Finlandia, Latvia, Bosnia-Herzegovina, Moldova mengimpor 90 persen kebutuhan gas domestik dari Rusia.
Sanksi menggunakan jaringan pembayaran SWIFT pasti akan berdampak buruk bagi Rusia, namun juga problematik untuk negara lainnya. Terbukti bahwa pelarangan bank-bank Rusia dalam sistem SWIFT sampai minggu kedua Maret belum diterapkan.
Larangan kontingen Rusia (dan Belarus) berpartisipasi dalam Paralimpiade Musim Dingin Beijing 2022 menyayat kebanggaan rakyat Rusia.
“Kami percaya olah raga dan politik tidak boleh bercampur,” kata Ketua Komite Paralimpiade Internasional (IPC) Andrew Parsons dalam pernyataan resmi sehari sebelum dibukanya Paralimpiade. “Namun dampak perang (Ukraina) telah hadir di ajang olah raga kita, dan di belakang layar banyak pemerintahan mempengaruhi event yang kita agungkan ini”.
Dalam satu hari Komite Paralimpiade Internasional dipaksa mengubah keputusan untuk mengizinkan atlet paralimpiade Rusia dan Belarus bertanding di bawah bendera IPC. “Mereka menyampaikan bahwa jika keputusan kami tidak dipertimbangkan kembali, akan berdampak buruk terhadap Paralimpiade Musim Dingin 2022,” kata Parsons. Dengan kata lain, ancaman boikot menghadang kalau para atlet difabel Rusia tidak ditendang keluar dari paralimpiade.
Jika gelanggang akbar kemanusiaan seperti paralimpiade yang dibintangi ratusan atlet difabel mudah dipolitisasi, ajang G20 dipastikan menjadi medan perang politik secara terbuka.
Bung Hatta tahun 1948 menggambarkan politik luar negeri Indonesia sebagai yang mendayung di antara dua karang. Presiden Jokowi kini tengah melakukan juggling kepentingan: teguh pada prinsip konstitusional menolak agresi, melintasi crossfire persaingan lingkup pengaruh NATO vs Russia yang menjadi esensi permasalahan di Eropa Timur, menghindari eskalasi perang, serta mengusahakan agar G20 tidak keluar jalur dan lalai terhadap agenda pembangunan dunia – Arsitektur Kesehatan Global, Ekonomi Digital dan Transisi Energi - yang berdampak semesta.
Berlebihan mengharapkan Indonesia mendamaikan krisis Ukraina lewat G20 yang sarat dengan national interest anggotanya. Namun tidaklah muluk bagi Ketua G20 untuk tetap berusaha memfokuskan organisasi ini pada isu-isu global yang berimbas kepada negara berkembang dan kelestarian manusia. Isu-isu yang memang harus dinobatkan oleh negara-negara G20.
Salah satu isu adalah utang negara-negara termiskin. Banyak yang terlindas beban bunga tinggi yang mengakibatkan tersedotnya alokasi anggaran pembangunan sehingga mengikis harapan mengangkat perbaikan ekonomi rakyatnya.
Perlu inisiatif G20 untuk menghasilkan suatu mekanisme penangguhan pembayaran bunga dan restrukturisasi utang yang meringankan negara-negara berpendapatan rendah.
Contoh lain adalah komitmen konkret G20 untuk menerapkan skema carbon pricing sebagai satu solusi terhadap ancaman perubahan iklim.
Perang Ukraina telah membajak headline dunia dan meredam isu global lain yang seharusnya menjadi top of mind G20. Perhatikan bagaimana laporan Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang dikeluarkan 28 Februari 2022, hampir luput dari perhatian dunia.
“Laporan ini peringatan mengerikan tentang konsekuensi dari kelambanan tindakan yang menunjukkan bahwa perubahan iklim adalah ancaman terhadap kesejahteraan kita dan planet yang sehat,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.
Sebuah laporan ilmiah yang menunjukkan perubahan iklim telah begitu membahayakan ekosistem kehidupan di Bumi seharusnya menjadi katalis G20 untuk bertindak, apalagi Transisi Energi Berkelanjutan isu pilar tahun ini.
Kepemimpinan G20 Indonesia tidak boleh terdefinisi oleh Perang Ukraina. Legasi Indonesia adalah menjaga kekhusyukan prioritas isu G20 yang membawa perbaikan kepada 1 miliar penduduk miskin dunia, serta warisan bumi yang lebih sehat untuk cucu kita.
Di sinilah karakter politik bebas aktif sesungguhnya.
Pewarta: Meidyatama Suryodiningrat
Editor: Sapto HP
Copyright © ANTARA 2022