"Sejak beberapa tahun terakhir ini, pengawasan mungkin agak kurang dari sisi penyaringan kualitas emiten yang IPO atau yang melakukan rights issue atau melakukan penggalangan dana dengan menerbitkan emisi saham atau emisi obligasi, entah itu melalui mekanisme IPO, rights issue atau penerbitan obligasi. Intinya menarik dana dari masyarakat," ujar Teguh saat dihubungi di Jakarta, Senin.
Teguh menyampaikan, saat ini ini banyak perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan "booming" pasar modal untuk menghimpun dana sebanyak-banyaknya karena ada banyak pemain baru yaitu investor ritel yang berinvestasi di pasar modal.
Beberapa perusahaan bahkan mencetak rekor penggalangan dana dari IPO seperti PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) yang meraup dana hingga Rp21,9 triliun, lalu disusul PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) atau Mitratel yang meraih dana Rp18,79 triliun. Sementara itu, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) juga berhasil menambah modal dengan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) atau rights issue yang mencapai Rp96 triliun.
"Dulu tidak pernah loh, dulu IPO paling besar Rp1 triliun atau Rp2 triliun saja, sekarang bisa sampai sebesar itu. Artinya apa? Artinya minat masyarakat sedang tinggi-tingginya untuk investasi di pasar modal," kata Teguh.
Kendati demikian, lanjut Teguh, kinerja saham seperti Bukalapak saat ini masih negatif. Pada Senin sore ini saham BUKA terpantau berada di level Rp308 per saham, turun jauh dibandingkan harga saham saat IPO yang mencapai Rp850 per saham. Para investor, termasuk investor ritel, pun merugi.
Melihat kondisi tersebut, Teguh menilai OJK juga tidak bisa disalahkan. Namun mengingat pernyataan efektif untuk perusahaan yang akan melakukan IPO diberikan oleh OJK, ke depan otoritas diharapkan dapat meningkatkan kualitas dari perusahaan yang ingin menghimpun dana di pasar modal.
"Jadi kualitas emiten harus bisa ditingkatkan. Jangan karena biar pasar modal ramai, demi agar jumlah saham sebanyak-banyaknya, tapi kualitas dari emiten itu diturunkan. Saya pikir ini memang tugas dari dewan pengawas pasar modal OJK itu sendiri," ujar Teguh.
Selanjutnya, Teguh juga berharap pengawas pasar modal juga harus netral dan bebas dari konflik kepentingan sehingga bisa menjadi "wasit" yang adil bagi pemangku kepentingan pasar modal baik itu investor, perusahaan tercatat, ataupun perusahaan sekuritas atau broker.
"Tiga kelompok ini semuanya pengen cuan. Investor pengen cuan, perusahaan pengen cuan dari galang dana, sekuritas juga pengen cuan dari trading. Semakin banyak trading, semakin banyak fee. OJK sebagai otortias harus bisa membuat iklim yang intinya netral. OJK itu semacam wasit, yang memastikan permainan itu adil. Dari tiga pihak ini semua ingin cuan, jadi harus dijaga jangan sampai berpihak ke salah satu atau kurang ke yang lain," kata Teguh.
Dari ketiga pihak tersebut yaitu investor, perusahaan tercatat, dan juga sekuritas, Teguh menilai pihak investor khususnya investor ritel yang paling tidak memiliki suara dan relatif paling sering dirugikan.
"Pengawas pasar modal harus bebas intervensi, bebas konflik kepentingan. Pasar modal kita ini lagi mulai bangkit sebenarnya, sekarang ini bisa lah 10-20 tahun lagi ke depan jadi besar seperti di Amerika," ujar Teguh.
Sebelumnya, Panitia Seleksi (Pansel) Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja menetapkan 21 kandidat yang lolos seleksi tahap IV yaitu afirmasi atau wawancara dan disampaikan kepada Presiden RI. Untuk Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, ada tiga kandidat yaitu Hoesen yang saat ini merupakan petahana, Inarno Djajadi yang merupakan Direktur Utama BEI, dan Doddy Zulverdy yang menjabat Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Utara.
Baca juga: Pansel Dewan Komisioner OJK serahkan 21 nama calon ke Presiden Jokowi
Baca juga: OJK: Konflik Rusia-Ukraina berpotensi naikkan harga pangan nasional
Baca juga: OJK diminta gerak cepat tindak pelanggaran industri jasa keuangan
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2022