"Parlemen sejak jauh hari sudah mengingatkan pentingnya produksi pangan untuk ketahanan pangan nasional. Bahkan, sebelum pandemi dan konflik Rusia-Ukraina yang membuat harga komoditas pangan melonjak," kata Firman dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, kenaikan harga pangan harus selalu dievaluasi agar stabil dan tidak melonjak. "Kenapa Indonesia mesti mengimpor, ini yang harus dievaluasi. Jangan kita bilang surplus, tetapi barangnya tidak ada. Kalau memang ada surplus, barangnya ada di mana?," kata dia.
Firman memprediksi dampak dari pandemi yang belum sepenuhnya berakhir dan ditambah dampak meningkatnya tensi geopolitik invasi Rusia di Ukraina, maka akan muncul dua krisis global yaitu energi dan pangan.
Baca juga: Legislator: produksi pangan ditingkatkan lepas ketergantungan impor
"Untuk mencapai swasembada pangan memang bukan perkara mudah. Langkah yang seharusnya dilakukan pemerintah, adalah menginventarisasi seluruh lahan yang berpotensi untuk digunakan sebagai lahan produksi pangan," katanya.
Sementara itu Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas menuturkan gejolak kenaikan harga sejumlah komoditas saat ini lebih banyak akibat perdagangan global dan makin terasa karena Indonesia sangat mengandalkan pasokan impor.
Menurut data Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI), gandum dan bawang putih hampir 100 persen impor, kedelai 97 persen impor, gula 70 persen impor, daging lebih dari 50 persen impor.
Baca juga: Peneliti: Kenaikan harga kedelai momentum perbesar produksi domestik
"Ketika harga pangan dunia naik setelah pandemi, maka pasti kita akan kena imbas,” ujar Ketua AB2TI itu.
Idealnya, kata Dwi, kebutuhan pangan dalam negeri bisa dipenuhi oleh petani dalam negeri. Namun dinilai sangat sulit terjadi karena tingginya disparitas harga pangan produksi dalam negeri dengan produk impor.
Peneliti INDEF Rusli Abdullah menyayangkan impor pangan dilakukan tanpa waktu yang tepat. "Selama pandemi tidak ada timeline soal impor, justru dilakukan saat panen (dalam negeri) berlangsung," katanya. Padahal impor seharusnya didasarkan pada data yang valid agar tidak merugikan petani.
Baca juga: Indonesia perlu perbaiki pola konsumsi dan produksi olah pangan lokal
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2022