Selama manusia bernafas, pasti memiliki cita. Asmara, berahi, dan sakit hati yang menyulut hasrat seni. Nada dan irama tak butuh modal apa-apa. Mulut yang bersuara sudah menjadi karya. Musik adalah karya seni pertama manusia. Selama ada ibu yang menyenandung untuk bayinya dan kekasih yang merindu, musik tak akan hilang.
"Musik adalah penyembuh,” ujar gitaris agung Eric Clapton.
Namun putaran budaya, evolusi bisnis, perubahan teknologi, dan gejolak pandemi menghantam para punggawa musik.
Prasyarat seorang musikus bukan lagi tarikan nafas atau sentuhan jemari. Petikan senar kalah genting dibanding mengolah piranti dan aplikasi. Membaca algoritma lebih penting dari menulis not balok. Suara bidadari dijelmakan dengan mengunduh autotune.
Musikus sekarang tak cukup menjadi komposer, tapi harus sebagai content creator. Popularitas bukan sebagai performer di panggung, tapi TikToker, Selebgram dan Youtuber.
Cobaan yang menumbuk ini memang tak eksklusif pada dunia musik. Berbagai industri kreatif, termasuk media, sudah kehilangan peran sebagai pemimpi impian dan pendulang rasa. Teknologi membuat segalanya lebih bebas dan "demokratis". Namun akses menimbulkan ekses.
Kata "musik" berasal dari Bahasa Yunani mousikos dan merupakan gabungan dari nama dewa-dewi yang menggelorakan seni dan keilmuan. Kunci kata yang harus diperhatikan di sini adalah aspek "keilmuan" jika kita ingin mengangkat harkat musisi dan seni Indonesia ke depannya, sebagaimana tujuan dari Hari Musik Nasional.
Aspek yang bisa menjadi solusi adalah bagaimana peran pemerintah, serta bagaimana para musikus berinovasi dengan model bisnis baru yang tak lagi bergantung pada karya dasar sebagai penghasilan utama.
Tanggal 9 Maret ditetapkan menjadi Hari Musik Nasional lewat Keputusan Presiden No. 10/ 2013 sebagai pengakuan karya intelektual seni, serta mengangkat derajat musik Indonesia. Hari Musik Nasional juga sarana menjunjung tinggi persatuan bangsa lewat kemajemukan musik nusantara.
Suka tidak suka, yang tidak populer akan ketinggalan zaman, menjadi usang dan lama-lama hilang. Itulah nasib berbagai musik dan berbagai alat musik tradisional. Pada akhirnya musik daerah akan bergantung pada perhatian dan subsidi pemerintah dan selalu disandingkan dengan dalih "warisan" dan "pelestarian".
Seni musik daerah dan peralatannya telah ditinggal oleh dunia komersil musik. Kalaupun ada argumentasi komersialisasi, tidak akan lebih dari sebuah curio, layaknya barang antik yang dipamerkan, dalam menunjang pariwisata.
Pemerintah pusat maupun daerah telah cukup aktif melakukan berbagai pelestarian musik daerah. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif merancang program Music Corner dengan musisi tradisional untuk menggelar pertunjukan. Sedangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga telah mengembangkan materi dan pembelajaran apresiasi musik siswa tingkat PAUD sampai SMP, termasuk mengajak seniman masuk sekolah lewat program Belajar Bersama Maestro.
Kita harus memberikan acungan jempol kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata berbagai kota yang mengadakan festival musik lokal serta memfasilitasi lewat dewan atau balai kesenian setempat.
Gambang Kromong dan angklung memiliki status nasional seperti batik yang tak akan pernah sirna. Harus ada keyakinan bahwa inisiatif pemerintah akan melanggengkan kehadiran lantunan dari kecapi, tifa, sasando, dan lain-lain.
Tetapi bagaimana dengan gamolan dari Lampung, atau foy doa dari Nusa Tenggara Timur serta puluhan alat musik lokal lainnya? Kenyataannya akan ada tingkat kepunahan tertentu jika hukum ekonomi memang tak lagi mendukung.
Dilema pemerintah dengan sumber daya yang terbatas adalah mencoba menyelamatkan semua dengan resiko kegagalan, atau sekadar memilih beberapa saja agar fokus.
Tantangan utama ke depan untuk semua musikus – tradisional, nasional, dan internasional – adalah bagaimana mencari model bisnis baru, mengembangkan skill set digital marketing, namun setia kepada jiwa karya yang bersubstansi pada cita rasa.
Pianis dunia Ananda Sukarlan harus bersaing dengan selebgram seperti Awkarin atau Anya Geraldine guna mendapatkan atensi publik. Komposer Andi Rianto dan Purwatjaraka dihadapi dengan derasnya karya saduran dari generasi music sampling.
Sama seperti awak media yang sekarang dituntut menghasilkan berita dalam hitungan detik, dan lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas dengan mengejar hits dan pageviews, musikus tak lagi punya waktu bereksperimen untuk berkarya besar. Seperti yang dikatakan CEO Spotify Daniel Ek bahwa dalam dunia streaming, seorang musisi tak lagi bisa menunggu dua atau tiga tahun untuk melepas karya barunya.
Grup legendaris dunia Pink Floyd dari tahun 1975 sampai 1979 hanya mengeluarkan tiga album (Wish You Were Here, Animals, dan The Wall). Grup rock ternama Indonesia God Bless dalam periode yang sama mengeluarkan dua album (God Bless dan Cermin). Bahkan album berikutnya, Semut Hitam, baru dikeluarkan 1988. Tapi diakui bahwa hampir semua album yang disebut adalah karya akbar dan akan abadi.
Walau internet dan platform streaming meluaskan jangkauan ke konsumen, model bisnis yang dikuasai oleh pemilik platform sama sekali tidak mendukung pencipta karya. Ini adalah fenomena global.
Tengoklah Spotify, platform streaming terpopuler di dunia. Data dari berbagai sumber seperti Business Insider mengutip bahwa di kisaran 1.000 streams seorang musisi hanya akan mendapatkan pembayaran 4 dolar AS.
Menurut portal Top Dollar mega artis seperti rapper Drake bisa menghasilkan 52,5 juta dolar AS, tapi jumlah stream-nya melebihi 21 miliar. Penyanyi Ed Sheeran bisa mendapatkan 6,5 juta dolar hanya dari satu lagu Shape of You yang di-stream 2,7 miliar kali. Tapi bagaimana dengan ratusan ribu musisi lainnya, yang tentu tidak akan mendapat jumlah stream dengan skala yang sama. Dan berapa pun yang dihasilkan oleh seorang musisi harus kemudian dibagi bersama manajemen dan pemegang copyright lagu.
Analisis Citigroup memperkirakan omzet tahunan industri musik sedunia di kisaran 43 miliar dolar AS, dan hanya 12% yang kemudian dibayarkan ke musisinya.
Berbeda dengan dulu, pemasukan utama musisi sekarang adalah lewat konser. Namun itu pun hancur akibat pandemi COVID-19. Bisa dimengerti mengapa nasib musisi di seluruh dunia semakin mengenaskan.
Kita harus menyambut baik dan memastikan bahwa inisiatif pemerintah untuk membuat aturan turunan perlindungan hak cipta untuk musik dapat terlaksana. Peraturan Pemerintah No. 51/2021 yang ditandatangani Presiden Jokowi pada Maret 2021 mengarah pada pembentukan sebuah lembaga yang menghimpun pembayaran royalti dari masyarakat yang menggunakan lagu untuk kepentingan komersil.
Tantangan industri dapat kita analisa dari berbagai aspek; kultural, ekosistem bisnis, pengaruh teknologi. Tapi mungkin permasalahan paling mendasar bukan di situ. Masalah terbesarnya bukan pencipta ataupun bisnis musik, tapi konsumennya.
Yang salah adalah kita sendiri yang dibesarkan tanpa menghormati karya orang lain. Anak-anak kita yang lebih puas mengunduh lagu, film, game, aplikasi dan berita dari portal gratis daripada memberikan apresiasi dengan membayar suatu karya intelektual.
Sebagai konsumen multimedia, marilah pada Hari Musik Nasional ini kita sadarkan sikap. Bantulah agar para pemimpi tetap bertahan hidup agar mereka terus bisa mendulang mimpi baru kita semua.
Pewarta: Meidyatama Suryodiningrat
Editor: Sapto HP
Copyright © ANTARA 2022