• Beranda
  • Berita
  • Hari Perempuan Internasional berdayakan perempuan demi kesetaraan

Hari Perempuan Internasional berdayakan perempuan demi kesetaraan

9 Maret 2022 10:26 WIB
Hari Perempuan Internasional berdayakan perempuan demi kesetaraan
Pelatih perempuan melatih anjing pelacak (K9) milik Badan Narkotika Nasional (BNN) di Lido, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (8/3/2022). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/tom
Hari Perempuan Internasional 2022 mengusung tema "Kesetaraan Hari Ini Untuk Masa Depan yang Berkelanjutan". Namun, Indonesia masih belum dapat mencapai target kesetaraan gender yang diharapkan.

Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lenny N. Rosalin mengatakan kesejahteraan dan kualitas hidup perempuan saat ini belum setara dengan laki-laki.

Kesenjangan gender terlihat dari data Indeks Pembangunan Indonesia (IPM), yang artinya terjadi kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dalam bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi sebagai variabel pembentuk IPM.

Begitu juga Indeks Pembangunan Gender (IPG) menunjukkan kesenjangan tertinggi dalam IPG disebabkan oleh rata-rata pengeluaran per kapita laki-laki dan perempuan yang jauh berbeda.

Lenny mengatakan rata-rata pengeluaran perempuan per kapita Rp9,2 juta per tahun, sedangkan rata-rata pengeluaran laki-laki per kapita Rp15,8 juta per tahun.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga mengatakan ketimpangan gender membuat perempuan lebih rentan terhadap kekerasan, diskriminasi dan berbagai perlakuan salah lainnya.

Oleh karenanya, selama kesetaraan gender belum tercapai, perhatian khusus perlu diberikan kepada perempuan dan anak.

Menurut Bintang, salah satu yang menyebabkan ketimpangan gender adalah budaya patriarki yang mengakar dalam kehidupan bermasyarakat sehingga menempatkan perempuan dan anak, terutama anak perempuan pada posisi yang lebih rentan dibandingkan dengan laki-laki.

Tidak hanya itu, beberapa penyebab lain terjadinya kesenjangan gender, diantaranya nilai sosial, produk dan peraturan yang masih bias gender, pemahaman ajaran agama yang tidak komprehensif dan cenderung parsial.

Selain itu juga disebabkan oleh kurangnya percaya diri, tekad dan inkonsistensi kelompok perempuan dalam memperjuangkan nasibnya, kekeliruan persepsi dan pemahaman para pengambil keputusan pada tokoh masyarakat, tokoh agama terhadap arti dan makna kesetaraan dan keadilan gender.

Baca juga: Sosok perempuan super masa kini, usaha rumahan hingga womenpreneur

Jangan takut bersuara

Sementara Duta Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Cinta Laura Kiehl berpendapat budaya patriarki yang kuat membuat seringkali perempuan dianggap berharga bila perempuan tersebut menjalani perannya sebagai misalnya istri, ibu, anak, kakak, adik secara baik.

Harga diri perempuan dinilai berdasarkan fungsi dan manfaat yang diberikan kepada orang lain, bukan karena atribut, karakter dan pencapaian bagi dirinya sendiri.

"Dan inilah yang sangat menyedihkan. Bukankah harga diri kita sebagai individu, laki-laki maupun perempuan seharusnya didikte oleh diri kita sendiri?" katanya.

Padahal menurut Cinta Laura, sangat penting bagi manusia untuk merasa dirinya berarti dan layak dihormati karena kemampuan yang dimilikinya, di luar perannya bagi orang lain.

Perempuan jarang bersuara karena dibuat merasa kecil, tidak berdaya, tidak berarti di luar sistem yang berbasis patriarki.

Pihaknya berpendapat akan sulit bagi siapapun bersuara jika orang tersebut tidak yakin akan harga dirinya dan dibuat untuk berpikir dia hanya penting jika divalidasi oleh orang lain.

Hal ini pun yang membuat banyak perempuan enggan melapor saat dirinya mengalami kekerasan maupun pelecehan.

"Dengan perempuan yang sering disudutkan dan dibuat ketergantungan, mereka jadi takut untuk melaporkan ketidakadilan yang mereka alami karena stigma yang membuat mereka merasa dihakimi, direndahkan dan diremehkan," kata Cinta.

Banyak dari perempuan merasa suaranya diabaikan sehingga banyak korban kekerasan harus hidup dengan trauma seumur hidupnya.

Dari contoh ini, seringkali terdapat fenomena victim blaming yang terjadi pada korban pelecehan dan kekerasan yang diperkuat oleh ketidakyakinan korban atas hak-hak yang dia miliki sehingga menyebabkan korban diam untuk selamanya.

Pada akhirnya aksi kekerasan terus dinormalisasi dan berlangsung di tengah masyarakat sehingga, kata Cinta, bukan hal yang mengejutkan jika tingkat kekerasan yang dialami negara ini jauh lebih tinggi dari data yang ada.

Pihaknya menegaskan tindakan kekerasan tidak bisa ditolerir. Laki-laki maupun perempuan layak mendapatkan pendampingan, penanganan dan keadilan.

Cinta pun mendorong perempuan untuk tidak takut bersuara. "Mari kita berdayakan perempuan Indonesia dan yakinkan mereka akan kekuatannya untuk memiliki otoritas akan hidupnya sendiri," ujarnya.

Baca juga: Pesan bagi perempuan muda yang ingin berkarier di startup

Fenomena gunung es

Wakil Ketua Komnas Perempuan Olivia C. Salampessy mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah fenomena gunung es karena data kasus yang diketahui hanya terbatas pada kasus yang dilaporkan saja.

Data dalam Catahu (Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2022) masih berupa indikasi dari puncak gunung es persoalan kekerasan terhadap perempuan karena kenyataannya, data yang terhimpun terbatas pada kasus di mana korban melaporkan, jumlah dan kemampuan penanganan lembaga yang turut serta di dalam upaya untuk menghadirkan Catahu.

Laporan kasus kekerasan berbasis gender berdasarkan data yang diterima oleh Komnas Perempuan mengalami peningkatan pada 2021 dibandingkan 2020.

Ada peningkatan 50 persen kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan yaitu 338.506 kasus di tahun 2021 dari 226.062 kasus di tahun 2020.

Lonjakan tajam juga terjadi pada data Badan Peradilan Agama (Badilag) sebesar 52 persen yakni dari 215.694 kasus di tahun 2020 menjadi 327.629 kasus di tahun 2021.

Sementara peningkatan juga terjadi pada sumber daya pengaduan ke Komnas Perempuan yaitu ada peningkatan sebesar 80 persen dari 2.134 kasus di tahun 2020 menjadi 3.838 kasus di tahun 2021.

Pemerintah diharapkan mampu memberikan perlindungan dan keadilan bagi perempuan terutama perempuan korban kekerasan. Pengesahan Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) adalah sesuatu yang banyak ditunggu oleh masyarakat sebagai salah suatu upaya untuk menghadirkan keadilan bagi korban.

Proses pembahasan RUU TPKS ini harus terus dikawal sampai disahkan, diterbitkan aturan-aturan turunannya dan diimplementasikan demi kesetaraan pada keadilan perempuan korban kekerasan.

Selamat Hari Perempuan Internasional 2022!

Baca juga: Tingkat melek huruf perempuan penyandang disabilitas hanya 44,5 persen

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022