"Tidak apa-apa, karena kami yakin bisa bayar kembali. Itu yang disebut countercyclical," ungkap Sri Mulyani dalam Sosialisasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Jawa Tengah yang dipantau secara daring di Jakarta, Kamis.
Dengan melebarkan defisit di tengah situasi sulit, belanja negara akan ditingkatkan untuk memberikan bantuan kepada masyarakat dan dunia usaha, sehingga saat ekonomi pulih, masyarakat dan dunia usaha yang telah diberikan bantuan bisa kembali membayar pajak yang akan menambah penerimaan negara.
Baca juga: Anggota DPR: Pemerintah jangan terlena pelebaran defisit APBN
Menkeu menuturkan hal tersebut telah terjadi di Indonesia selama COVID-19, di mana pada tahun 2020 defisit APBN dilebarkan hingga 6,1 persen dari produk domestik bruto (PDB) atau Rp947 triliun karena penerimaan negara turun 16 persen, sementara belanja negara naik 12 persen.
Namun pada tahun 2021 seiring pulihnya ekonomi domestik, pendapatan negara berhasil tumbuh 21 persen dan pengeluaran negara ditahan hanya tumbuh 7,4 persen, sehingga defisit anggaran menurun menjadi 4,65 persen PDB atau Rp783 triliun.
"Di tahun 2021 kemarin, penerimaan pajak berhasil melewati target setelah 12 tahun lamanya yaitu 103,9 persen. Itu karena pemulihan ekonomi terjadi, serta sebagai akibat dari reformasi pajak dan perpajakan yang dilakukan. Kami akan terus lakukan itu," ucapnya.
Baca juga: Ekonom sarankan adanya perpanjangan aturan pelebaran defisit APBN
Dengan perbaikan tersebut, kata dia, pada tahun 2022 konsolidasi fiskal pun sudah bisa mulai dilakukan dengan penurunan kembali defisit yang ditargetkan sebesar 4,85 persen PDB.
Dalam jangka menengah, APBN akan semakin disehatkan sehingga defisit akan kembali ke level tiga persen di tahun 2023.
"Tak hanya karena pemulihan ekonomi, tetapi kami harus menata kembali perpajakan kita karena sudah banyak yang berubah di dunia ini, terutama karena digitalisasi," tutur Sri Mulyani.
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022