Di sana, sarang serangga dan tenda di tengah belantara berada, kelak, dijelmakan menjadi pusat kuasa mahkota Indonesia.
Selama tujuh tahun Presiden Jokowi membangun landasan kesahihan Indonesia sebagai bangsa yang besar. Transformasi maruah dari bangsa yang memonetisasi alam menjadi rumpun yang kreatif memanfaatkan kerahmatan otak manusia.
Kini ia menghentakkan benak kita dengan gagasan ibu kota baru. Jokowi mengajak kita bermimpi lebih besar lagi. Impian Generasi X, yang harus menjadi misi para milenial, untuk kebesaran Indonesia Generasi Beta.
Di paruh akhir kedua jabatannya, Jokowi tak perlu menuai prahara baru. Warisan presiden ke tujuh Indonesia sudah nyata. Bukan Joko Widodo kalau hanya puas melihat bangsanya besar hanya karena sejarah dan besarnya wilayah Indonesia. Bukan gaya presiden murni sipil pertama yang dipilih langsung oleh rakyat itu kalau tidak menoreh sejarah baru, mewujudkan takdir dengan mimpi keagungan yang lebih merata untuk demokrasi ketiga terbesar dunia.
"(Presiden Jokowi) mengatakan Ibu Kota Negara (IKN) ini namanya Nusantara," kata Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa sebagaimana dilaporkan ANTARA (17/1/2022).
Pemilihan nama "Nusantara" merupakan keputusan sempurna sebagai sebuah terma yang membingkai zamrud khatulistiwa sejak abad 14. Keberhasilan adalah mimpi yang dibesut gairah, direka dengan ilmu, sebelum dituai kerja keras.
Mimpi telah diutarakan dalam cetusan ibu kota baru. Semangat telah ditunjukkan dengan ikhtiar perbaikan jalan menuju IKN dan Jembatan Balang yang menghubungkan Balikpapan dengan Penajam Paser Utara. Ditambah lagi dengan show-of-intent perkemahan presiden di titik pusat Nusantara.
Persiapan, studi banding, serta pematangan rencana terus berjalan dengan selesainya arsitektur dasar IKN, prakiraan pembiayaan dan pembentukan Otorita IKN serta UU No.3/2022.
Kini kerja keras harus dimulai.
Tidak ada garis yang mentakdirkan Jakarta sebagai ibu kota abadi.
Gedung Sate yang menjadi ikon Jawa Barat dibangun pemerintah kolonial saat Bandung akan dijadikan pusat pemerintahan Hindia-Belanda. Selama revolusi kemerdekaan, ibu kota pernah pindah ke Yogyakarta dan Bukittinggi. Presiden Sukarno pernah juga mempertimbangkan pemindahan ibu kota ke Kalimantan. Dan Presiden Soeharto tahun 1997 juga merujuk daerah Jonggol sebagai lokasi ibu kota baru.
Perpindahan ibu kota solusi yang lazim di dunia.
Ankara menggantikan Istambul sebagai pusat pemerintahan Turki tahun 1923. Ibu Kota Kazakhstan pindah dari Alamty ke Astana tahun 1998, Nigeria memindahkan ibu kotanya dari Lagos ke Abuja 1991, dan Rio de Janeiro digantikan Brasilia sebagai Ibu Kota Brazil tahun 1960. Kemudian pemerintah Australia menjadikan Canberra sebagai ibu kota dari Melbourne pada 1927, dan Tanzania memindahkan ibu kotanya dari Dar Es Salaam ke Dodoma 1996. Presiden Ayub Khan tahun 1963 memindahkan ibu kota Pakistan dari Karachi ke Islamabad, dan pada 1974 Lilongwe menjadi ibu kota Malawi menggantikan Zomba.
Visi politik dan integrasi ekonomi jangka panjang menjadi salah satu sebab utama keputusan perpindahan. Harus diingat juga bahwa banyak ibu kota negara dunia tumbuh organik sebagai warisan penjajah, seperti Jakarta.
Pemilihan Canberra menengahi persaingan dua sentra ekonomi besar Australia – Sydney dan Melbourne. Lokasi Brasilia di tengah Brazil, mengubah strategi pembangunan dari daerah pesisir ke pedalaman. Penunjukan Brasilia juga memutuskan sejarah kolonial saat Rio de Janeiro menjadi ibu kota kerajaan Portugal di awal abad ke 19.
Ketidakmerataan pembangunan adalah masalah klasik selama 76 tahun Indonesia merdeka. Pembangunan Jawa-sentris masih nyata.
Urbanisasi dan peran kota sebagai mesin ekonomi adalah realita sejak adanya revolusi industri. Laporan UNCTAD (Konferensi PBB mengenai Perdagangan dan Pembangunan) menyebutkan 56,2 persen penduduk dunia tinggal di kota.
Di Indonesia, 56,7 persen penduduk kini tinggal di perkotaan. Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan angka ini akan meningkat menjadi 66,6 persen pada 2035, Bank Dunia juga memprediksi menjadi 70 persen di 2045. Menurut perusahaan konsultan global McKinsey, penduduk kota Indonesia saat ini menyumbangkan 74 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) negara. Sumbangan itu diproyeksikan akan menjadi 86 persen sebelum 2030.
Daftar Worldatlas.com tentang 20 kota Asia Tenggara dengan penduduk terbanyak menunjukkan delapan berasal dari Indonesia, di mana lima kota berada di Pulau Jawa. Bisa diprediksi bahwa sentralisasi Jawa dan stagnasi akan berlanjut jika Indonesia tidak menciptakan sentra-sentra ekonomi baru.
Nusantara strategi masa depan yang lebih inklusif dalam menjawab tantangan ini.
Adalah fakta bahwa kualitas hidup dan ekosistem Jakarta telah terdegradasi sampai tingkat mengkhawatirkan. Dengan kepadatan penduduk lebih dari 16.900 jiwa/kilometer persegi, Jakarta sasaran pencari nafkah. Daerah aglomerasi menambahkan beban signifikan pada infrastruktur Jakarta. Menurut BPS, pra-pandemi, 2,1 juta komuter dari Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) setiap harinya menuju Jakarta. Data PT KAI juga menunjukkan dari 2015 sampai 2019 penumpang kereta komuter Jabodetabek naik 30 persen.
Dengan lebih dari 3,3 juta mobil dan 16,1 juta sepeda berkeliaran, tak heran Jakarta sinonim dengan kata "macet". Sebelum pandemi, aplikasi Waze mengukur kecepatan rata-rata kendaraan di Jakarta merambat pada 19 kilometer/jam. Analisis perusahaan peta digital Tomtom, menyimpulkan pengendara mobil Jakarta kehilangan waktu setara tiga hari setahun akibat kemacetan.
Berita tenggelamnya Jakarta berulang disiarkan. Para peneliti semua berkesimpulan sama: Jakarta mengalami penurunan muka tanah antara 0,1 sampai 8 cm per tahun.
Dalam parodi, film dan lagu, anekdot beratnya kehidupan Jakarta menjadi bagian dari kosa kultural kita. "Ternyata kejamnya ibu tiri tak sekejam ibu kota," ucap Ateng dalam sebuah film komedi klasik dari tahun 1981. Dan siapa yang tak kenal dendang Grup Kembar: “Sapa suruh datang Jakarta, sandiri suka, sandiri rasa, eh do e sayang”.
Tidak salah jika masih ada yang skeptis tentang pembentukan Nusantara. Dan persiapan IKN saat ini pun masih banyak kekurangan. Tapi ini lah yang disebut mewujudkan sebuah impian. Ini lah yang namanya ikhtiar untuk kemajuan, bukan kesempurnaan.
Di tahun 1960an Indonesia adalah negara miskin. Tapi keterbatasan fisik dan ekonomi ini tidak membendung impian kebesaran membangun Monumen Nasional ataupun stadion terbesar di Asia Tenggara.
Anak Indonesia mana yang kini tak mengenal Monas (Monumen Nasional) sebagai simbol nasional, ataupun bangga akan kemegahan kompleks olah raga Gelora Bung Karno yang terakhir menjadi perhatian dunia sebagai tuan rumah Asian Games 2018.
Nusantara bukanlah komoditas politik, atau eigendom (hak milik) seorang presiden. Nusantara adalah warisan masa depan yang kita wujudkan untuk kebanggaan cucu kita.
Pewarta: Meidyatama Suryodiningrat
Editor: Sapto HP
Copyright © ANTARA 2022