Tempat duduk panjang dari batang sagu, yang dalam bahasa lokal disebut sasalo, terlihat sudah diisi penonton. Banyak juga penonton yang memenuhi tepi jalan kerikil, meski posisinya lebih jauh dari lokasi konser. Mereka ada yang terlihat berdiri, bahkan ada yang membawa kursi sendiri.
Itu adalah puncak dari pergelaran "From and to Infinity 2", sebuah konser lintas budaya yang menampilkan kolaborasi musisi jazz Boi Akih dari Belanda, seniman tradisional Bali I Made Subandi, sastrawan Calvin Papilaya, seniman Maluku, yakni Molucca Bamboowind Orchestra (MBO), serta pelajar dari 10 sekolah percontohan kurikulum berbasis musik di Ambon. Rangkaian konser itu berlangsung mulai 4, 7 dan 11 Maret 2022.
Konser malam itu tetap menghibur dengan konsep kesederhanaan yang menyatu dengan alam. Tanah yang masih basah adalah panggung utama di "lhuroang Amphy Teater". Bunyi yang keluar dari pengeras suara bisa terdengar jelas sampai ke penonton paling belakang. Tata lampu warna-warni menyinari para musisi, dan juga menyoroti pepohonan di belakangnya menjadi background panggung yang natural.
Musik jazz dari Boi Akih berkelindan dengan bunyi perkusi I Made Subandi dan tiupan suling bambu dari 26 musisi Molucca Bamboowind Orchestra (MBO), membawakan empat komposisi lagu berjudul "The Sea, Dry Land, City, & Joy". Gitaris dan komposer Boi Akih Niels Brouwer, terlihat sangat intens memetik gitarnya sambil sesekali mengibaskan rambut panjangnya. Suara vokalis Boi Akih dan Monica Akihary terdengar merdu dan terkadang memekik saat membawakan lagu yang sebagian besar menggunakan "bahasa tanah" Haruku, basantara tradisional Maluku.
Kolaborasi musik mereka semakin apik dengan masuknya sastrawan Calvin Papilaya yang membacakan syair puisi tentang Maluku, menyuarakan kekayaan alam dan laut yang dinilai belum membawa kesejahteraan sepenuhnya untuk masyarakatnya. "Aer masing (laut) sekarang jadi jalan untuk kejahatan," demikian sepenggal syair dari Calvin Papilaya di konser itu.
Konser berakhir satu jam sebelum tengah malam yang diwarnai tepuk tangan meriah penonton. Beberapa orang terdengar meneriakkan satu kata dalam bahasa Maluku. "Matele", artinya sedap betul.
Meynard Reynold Nathanael Alfons, pendiri sekaligus konduktor MBO, mengatakan melestarikan musik tradisional sama halnya dengan menjaga anak dan cucu kita agar tidak kehilangan identitas sebagai orang Maluku. Apa yang dilakukan di Dusun Tuni adalah mencoba menyeimbangkan perkembangan zaman dengan sesuatu yang sifatnya tradisi. Hasilnya mulai terlihat dari keikutsertaan 30 siswa sekolah percontohan kurikulum berbasis musik di Ambon yang tampil memainkan alat-alat musik tradisional di konser tersebut.
"Banyak generasi muda ingin belajar. Dari kurikulum yang baru dijalankan Bulan Januari, sudah ada 30 siswa dari 10 sekolah percontohan tersebut sudah bisa memainkan komposisi yang saya buat dengan Niels dan Subandi. Itu artinya ada minat dari siswa. Kalau mereka tidak suka, mereka tidak akan mau main," ujarnya.
Unik tapi Terpencil
Pertunjukan musik dalam sejarahnya memang terus berkembang seiring zaman dan perkembangan teknologi. The Beatles pada 1965 adalah band pertama yang menggelar konser di Stadion Olahraga Shea, Kota New York, untuk menampung puluhan ribu penggemarnya, meski akhirnya mereka kecewa karena teknologi pelantang suara saat itu kalah nyaring dari teriakan Beatlemania.
Pada dekade 1960-an juga muncul konser "Human Be-In" yang terilhami dari band Jefferson Airplane yang kerap tampil live dari belakang truk bak terbuka. Human Be-In berlangsung di lapangan olahraga di pinggiran Kota San Fransico, menjadi cikal bakal penyelenggaraan festival yang dianggap menandai bangkitnya budaya tandingan, karena memadukan konser musik, puisi dan orasi politik generasi muda hippie yang resah dengan perang Vietnam dan kebebasan hak sipil.
Bentuk konser musik di ruang terbuka terus berevolusi, termasuk juga di Indonesia, seperti munculnya Soundrenaline, Jazz Gunung Bromo, dan Jazz Gunung Ijen. Dua terakhir merupakan festival yang memadukan musik dengan budaya dan promosi keindahan alam. Sederet musisi ternama sudah meramaikannya dan peminatnya tetap ada, meski harus merogoh kocek lebih dalam saat digelar di tengah pandemi COVID-19. Konser tersebut tetap dianggap bergengsi dan diterima sebagai budaya populer.
Apakah konser di Dusun Tuni mengarah ke sana?
Dusun Tuni di Negeri (Desa) Urimessing merupakan salah satu dari 10 daya tarik wisata berbasis musik di Kota Ambon. Dusun dengan populasi penduduk sekitar 200 kepala keluarga ini memiliki keunikan berupa tradisi bermusik dengan instrumen suling bambu. Di lokasi itu lahir orkes musik suling bambu bernama Molucca Bamboowind Orchestra (MBO) yang didirikan pada 2005 dan sekolah alam berbasis musik.
Dusun Tuni berada di bukit yang dikelilingi hutan, yang pada malam hari bisa melihat gemerlap Kota Ambon. Meski di peta tertera jaraknya hanya 8,68 kilometer dari pusat Kota Ambon, namun faktanya lokasi itu masih terpencil karena akses transportasi sangat terbatas.
Ketika wartawan ANTARA mengunjungi Dusun Tuni untuk melihat konser pertama pada 4 Maret, sangat sulit untuk menjangkau lokasi konser di "Haang Natural Teater" yang berada di bawah bukit. Belum ada penanda jalan menuju objek wisata musik itu, dan jalan aspal yang bisa dilalui mobil berjarak sekitar satu kilometer dari dusun.
Warga setempat biasa parkir motor-motor mereka di pintu masuk dusun dan melanjutkan dengan berjalan kaki. Dari lokasi itu menuju tempat konser berjarak sekitar satu kilometer melalui jalan setapak berupa beton dan ada yang masih jalan tanah. Ada dua rute yang bisa ditempuh, yakni naik-turun anak tangga dengan kemiringan 45 hingga 90 derajat, sedangkan rute kedua lewat jalan tanah yang lebih landai, tapi jalurnya memutar agak jauh.
Total jarak tempuh untuk melihat konser pertama itu dengan berjalan kaki adalah sekira empat kilometer pergi-pulang.
"Tempat ini sebenarnya luar biasa, alamnya indah. Saya juga melihat kemurnian seni dari anak-anak yang suaranya indah. Tapi ya perjalanannya ke sini ekstrem, karena tangga-tangganya itu," kata seniman Bali I Made Subandi, seusai konser pertama.
Harapan
Pendiri sekaligus konduktor MBO Meynard Reynold Nathanael Alfons berharap konser di Dusun Tuni bisa rutin digelar. Namun untuk mencapai standar yang bagus dalam konser butuh biaya tidak sedikit. Konser di Dusun Tuni tahun ini mendapat dukungan biaya paling banyak dari pemerintah, seperti dari Dinas Pendidikan Ambon, Taman Budaya Provinsi Maluku, Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Maluku, dan juga dari Boi Akih.
Karena itu, konser tersebut gratis untuk umum dengan kapasitas amfiteater untuk 250 penonton. Meski begitu, ke depannya ia menilai konser musik akan lebih besar dan bagus jika tidak hanya mengandalkan dukungan dari pemerintah.
"Ke depan idealnya demikian. Namun demikian, kami terbentur biaya besar untuk bikin pertunjukan yang seperti ini. Kami selalu minta bantuan ke pemerintah," ujarnya.
Pria yang akrab disapa Rence Alfons ini menilai pertunjukan musik bukan hanya untuk kepentingan musik semata. Idealnya musik ibarat sebuah lokomotif yang bisa menarik gerbong industri kreatif lainnya, seperti kuliner dan kerajinan tangan.
"Bayangkan jika tempat ini bisa menampung 400 orang. Selain pemasukan dari karcis, orang juga sumbang kuliner, misalkan Rp100 ribu, maka masyarakat bisa dapat dampak ekonomi," katanya.
Menurut dia, ada wacana bahwa ke depan konser musik di Dusun Tuni digelar secara komersil, yang artinya ada pemasukan dari tiket. Hal tersebut harus direncanakan dengan cermat, karena harus mengubah pola pikir masyarakat untuk lebih mengapresiasi sebuah pertunjukan seni.
"Masyarakat harus dikasih edukasi. Masyarakat Ambon ini saya amati belum sampai di situ untuk mau kasih keluar uang untuk beli tiket. Apresiasi masih kurang, tapi ya harus pelan-pelan untuk mengubah mindset masyarakat," ujarnya.
Selain itu, Rence Alfons juga menyadari bahwa untuk pengembangan daya tarik wisata berbasis musik di Dusun Tuni perlu memperhatikan aspek 3A (atraksi, amenitas, aksesbilitas). Ia mengakui aksesbilitas menuju Dusun Tuni memang masih kurang, bahkan itu juga kadang menyulitkan untuk warga setempat.
"Kalau ada warga yang sakit harus dibawa pakai tandu naik tangga," ujar lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini.
Ia berharap Pemerintah Kota Ambon bisa membantu pengembangan Dusun Tuni sebagai objek wisata musik dengan melibatkan dinas pekerjaan umum untuk membangun infrastruktur jalan. Dengan begitu, wisatawan, baik itu penikmat seni maupun bukan, bisa mengunjungi Dusun Tuni dengan lebih mudah untuk menikmati suasana alamnya, membeli suvenir suling bambu, maupun untuk menikmati musik tradisionalnya.
"Bagaimana masyarakat dengan pemerintah melihat hal ini sebagai sesuatu yang penting karena memang dampak ekonominya sangat banyak sekali. Pemerintah kota harus lebih serius," katanya.
Potensi
Konser di Dusun Tuni dianggap sebagai contoh nyata dari besarnya potensi daya tarik musik di Kota Ambon, yang menyandang status City of Music dari UNESCO.
Bagi Direktur Ambon City Office (AMO) Ronny Loppies, kolaborasi seniman lokal di Dusun Tuni dengan musisi mancanegara juga menunjukkan implementasi dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030 (Sustainable Development Goals/SDGs). Ada Keterlibatan masyarakat di akar rumput untuk bisa menghelat pergelaran musik dengan standar yang cukup tinggi. Apalagi konser tersebut sudah berlangsung dua kali di Dusun Tuni sejak pertama digelar pada 2019.
Potensi tersebut bisa membentuk ekosistem baru berupa pariwisata musik, yang di dalamnya ada musisi, infrastruktur musik, pelaku musik, dan tentunya keunikan musik Ambon itu sendiri. Kalau potensi ini dikemas dengan optimal, ekosistem pariwisata musik bisa menjadi pencitraan bagi Kota Ambon di kancah dunia.
Pariwisata Ambon, kata Ronny, bergeser tidak hanya pariwisata alam, tapi juga lebih banyak kepada musik, pelaku musik dan infrastruktur musik.
Namun, Roony Loppies punya pandangan bahwa pengembangan ekosistem pariwisata musik harus melihat kondisi di masing-masing daerah. Konsep 3A dalam pengelolaan pariwisata agar berkelanjutan di Kota Ambon tidak bisa sepenuhnya diterapkan, karena Ambon adalah ekosistem yang rapuh.
"Ambon ini pulau kecil disebut ekosistem fragile, yang rapuh. Jadi tidak semua pemahaman 3A itu harus diterapkan di kondisi pariwisata daerah. Kita coba alihkan itu sehingga tekanan terhadap pulau dari sisi lingkungan itu tidak terlalu besar, jadi lebih banyak musiknya," kata Roony.
Menurut dia, dari sisi pengembangan daya tarik wisata berbasis musik yang sudah terjadi Dusun Tuni bisa dikatakan berjalan sangat baik. Untuk saat ini, jalan yang dipilih adalah mengharapkan orang untuk datang ke Dusun Tuni semata-mata untuk menikmati musik.
"Sehingga orang datang bukan cuma melihat sesuatu, untuk membeli sesuatu, tapi sebenarnya bisa merasakan sesuatu. Merasakan apa? Musiknya. Karena itu jadi pembeda dengan kota-kota musik dunia yang lain," ujarnya.
Pewarta: FB Anggoro
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022