Pakar ilmu gizi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Prof Dr Razak Thaha mengatakan, stunting akan mengancam bonus demografi Indonesia yang puncaknya pada 2045.penurunan prevalensi stunting harus dikeroyok bersama-sama
Pada Rakerda Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Sulawesi Selatan (BKKBN Sulsel) 2022 di Makassar, Rabu, dia mengatakan, bonus demografi merupakan suatu keadaan penduduk yang masuk dalam usia produktif jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan penduduk usia tidak produktif.
Sementara puncak bonus demografi di Indonesia pada 2045 terancam terbuang sia-sia, jika target penurunan stunting belum tercapai.
Baca juga: 24 kabupaten/kota di Sulsel bersinergi turunkan kekerdilan
Baca juga: Aksi Stop Stunting Pemprov Sulsel bisa menjadi contoh
Menurut World Health Organization (WHO), masalah kesehatan masyarakat dapat dianggap buruk jika prevelensi stunting lebih dari 20 persen. Artinya, secara nasional masalah stunting di Indonesia tergolong kronis.
"Karena itu, program percepatan penurunan prevalensi stunting harus dikeroyok bersama-sama," kata Razak.
Sementara dari perkembangan penurunan angka prevalensi stunting di lapangan, diakui sangat lamban, karena sejumlah faktor.
Baca juga: TP PKK Makassar-DKP Sulsel berkolaborasi turunkan angka stunting
Menurut World Health Organization (WHO), masalah kesehatan masyarakat dapat dianggap buruk jika prevelensi stunting lebih dari 20 persen. Artinya, secara nasional masalah stunting di Indonesia tergolong kronis.
"Karena itu, program percepatan penurunan prevalensi stunting harus dikeroyok bersama-sama," kata Razak.
Sementara dari perkembangan penurunan angka prevalensi stunting di lapangan, diakui sangat lamban, karena sejumlah faktor.
Baca juga: TP PKK Makassar-DKP Sulsel berkolaborasi turunkan angka stunting
Baca juga: Pemprov Sulsel alokasikan anggaran Rp8 miliar tangani "stunting"
Berdasarkan data Bapenas diketahui pada 2013 prevalensi stunting tercatat 37,20 persen, lalu pada 2018 menjadi 30,80 persen, kemudian 2019 menjadi 27,70 persen dan pada 2021 diterbitkan Perpres Nomor 72 Tahun 2021 dengan pelimpahan tugas kepada BKKBN untuk menurunkan prevalensi stunting dengan target 24,40 persen pada 2024.
"Prevalensi stunting pada 2020 diprediksi 27 - 28 persen, sementara pada 2021 estimasinya 32,5 persen, sedang untuk mencapai target nasional pada 2024, berarti masih harus menurunkan sekitar 12 persen dalam kurun sekitar dua tahun ke depan," katanya.
Hal itu dibenarkan Kepala Perwakilan BKKBN Sulsel Hj Andi Ritamariani.
Menurut dia, tantangan berat itu menjadi PR bagi BKKBN yang diamanahkan oleh pemerintah selaku koordinator. Kendati demikian, pihaknya tetap optimistis target itu dapat dicapai dengan dukungan semua pihak.
Baca juga: Dirjen KKP: Konsumsi ikan cara termudah perangi stunting
Baca juga: Pemprov Sulsel tetapkan 205 desa lokus intervensi stunting
Berdasarkan data Bapenas diketahui pada 2013 prevalensi stunting tercatat 37,20 persen, lalu pada 2018 menjadi 30,80 persen, kemudian 2019 menjadi 27,70 persen dan pada 2021 diterbitkan Perpres Nomor 72 Tahun 2021 dengan pelimpahan tugas kepada BKKBN untuk menurunkan prevalensi stunting dengan target 24,40 persen pada 2024.
"Prevalensi stunting pada 2020 diprediksi 27 - 28 persen, sementara pada 2021 estimasinya 32,5 persen, sedang untuk mencapai target nasional pada 2024, berarti masih harus menurunkan sekitar 12 persen dalam kurun sekitar dua tahun ke depan," katanya.
Hal itu dibenarkan Kepala Perwakilan BKKBN Sulsel Hj Andi Ritamariani.
Menurut dia, tantangan berat itu menjadi PR bagi BKKBN yang diamanahkan oleh pemerintah selaku koordinator. Kendati demikian, pihaknya tetap optimistis target itu dapat dicapai dengan dukungan semua pihak.
Baca juga: Dirjen KKP: Konsumsi ikan cara termudah perangi stunting
Baca juga: Pemprov Sulsel tetapkan 205 desa lokus intervensi stunting
Baca juga: RAN Pasti langkah percepat turunkan stunting
Pewarta: Suriani Mappong
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022