Minyak goreng sedang menjadi komoditas pangan yang paling banyak diperbincangkan di kalangan masyarakat lantaran sedang begitu sulit untuk didapatkan di pasaran. Kalaupun ada, harganya mahal.Sepertinya memang sudah saatnya bagi koperasi untuk kembali menjadi bagian utama dari tiga pelaku ekonomi nasional, di samping BUMN dan swasta.
Maka menjadi wajar kemudian ketika “panic buying” dan kekhawatiran berlebihan melanda di kalangan masyarakat. Berbagai solusi pun sedang terus diupayakan agar kondisi kembali stabil seperti semula.
Meskipun pada perkembangannya hampir pasti akan tercapai harga kesetimbangan baru di pasaran untuk harga minyak goreng kemasan. Namun semua pihak berharap ada solusi terbaik bagi persoalan ini.
Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi, bahkan sudah menyebutkan bahwa menyebutkan harga minyak goreng kemasan atau premium mulai 16 Maret 2022 ditetapkan mengikuti harga keekonomian atau mekanisme pasar menyusul keputusan pemerintah yang tak lagi menyubsidi barang kebutuhan pokok noncurah itu.
Menurut dia, penyebab terjadinya kelangkaan dan lonjakan harga minyak goreng di tingkat ritel belakangan ini karena ada selisih harga minyak goreng di ritel modern yakni Rp14.000 per liter dengan harga di pasar tradisional. Harga di kedua pasar itu tak bisa dikontrol bersamaan sehingga membuat “panic buying” di masyarakat.
Baca juga: Pemerintah pastikan minyak goreng curah Rp14.000 didapat masyarakat
Sementara itu, Bank Indonesia memperkirakan harga minyak goreng kembali normal jelang bulan puasa menyusul makin tingginya suplai di pasaran.
Kepala BI Kantor Perwakilan Surakarta Nugroho Joko Prastowo ,mengatakan saat ini masih terus dilakukan pengolahan kelapa sawit di pabrikan menyusul aturan kewajiban eksportir untuk ikut memenuhi kebutuhan pasar domestik.
Faktanya memang ada persaingan dengan harga internasional yang naik pesat sehingga ekspor memang lebih menguntungkan bagi eksportir (jika mengirim) CPO (kelapa sawit) sehingga (eksportir) dipaksa dengan regulasi kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri atau DMO 20 persen.
DMO sebesar 20 persen dari ekspor tersebut masih dalam bentuk material mentah sehingga memang harus dimasukkan ke pabrik terlebih dahulu untuk diolah. Baru kemudian dari pabrik didistribusikan (ke pasar) sehingga perlu waktu.
Ia mengatakan setelah komoditas kelapa sawit tersebut diolah menjadi minyak goreng otomatis suplai minyak goreng di pasaran yang sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET) lebih banyak. Dari situ kemudian, harga minyak goreng bisa kembali stabil di pasaran.
Baca juga: Mendag: Jutaan liter minyak goreng lenyap di Jakarta-Medan-Surabaya
Solusi Koperasi
Meskipun begitu, ada solusi-solusi yang kerap tidak terwacanakan dan belum juga diterapkan di lapangan. Misalnya, dengan melibatkan koperasi sebagai distributor yang menyalurkan minyak goreng.
Apalagi ketika banyak koperasi yang telah menyatakan diri siap untuk terlibat dalam distribusi minyak goreng. Bahkan mereka meminta secara khusus kepada Pemerintah agar melibatkan misalnya Induk Koperasi Pedagang Pasar (Inkoppas), dalam pendistribusian minyak goreng satu harga ke tengah masyarakat.
Hal ini guna mencegah antrian panjang di sejumlah titik pendistribusian minyak goreng yang menimbulkan pemandangan tidak elok.
Ketua Umum Induk Koperasi Pedagang Pasar (Inkoppas) Yudianto Tri mengatakan permintaan untuk menunjuk Inkoppas sebagai distributor minyak goreng bukan tanpa alasan.
Selain keberadaan di tengah pasar rakyat atau pasar-pasar tradisional yang tersebar di berbagai daerah di tanah air, Inkoppas di masa lalu punya pengalaman yang cukup sukses dalam pendistribusian minyak goreng yang kala itu juga langka.
Menurut Yudianto Tri, jika Inkoppas dilibatkan dalam pendistribusian minyak goreng, tentu antrian panjang bisa berkurang, karena masyarakat bisa langsung mendapatkan minyak goreng di setiap Koppas di daerah masing-masing.
Apalagi saat ini Inkoppas beranggotakan 18 sekunder Pusat Koperasi Pedagang Pasar (Puskoppas) di 18 provinsi dengan anggota 2.689 Primer Koppas yang tersebar berbagai Kabupaten dan Kota seluruh Indonesia.
Baca juga: Mendag: Pemerintah subsidi minyak curah seharga Rp14 ribu per liter
Kelangkaan minyak goreng di pasaran sudah berlangsung sejak enam bulan dan memang sudah dilakukan pendistribusian melalui sejumlah ritel modern.
Namun, lanjutnya, tetap tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Kondisi ini ditegaskan tidak boleh berlarut-larut apalagi sebentar lagi akan memasuki bulan Ramadhan dan Idul Fitri di mana kebutuhan minyak goreng semakin tinggi.
Permintaan agar Inkoppas beserta jajarannya dilibatkan dalam pendistribusian minyak goreng satu harga, kata Yudianto, sebelumnya sudah pernah diajukan ke Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Namun permohonan tersebut belum direspons, padahal keberadaan Inkoppas beserta anggotanya Koppas sangat riil di tengah masyarakat. Distribusi minyak goreng saat ini sebagian besar dikuasai ritel-ritel modern.
Hal ini berbeda dengan pengalaman krisis ekonomi tahun 1998, di mana kala itu Inkoppas dilibatkan pemerintah dalam melakukan distribusi minyak goreng guna menstabilkan harga pasar yang normal. Hasilnya, harga minyak goreng yang kala itu melonjak hingga Rp8.000 per kg dapat diturunkan hingga Rp4.200 per kg sesuai harga eceran tertinggi.
Selain berharap Inkoppas beserta jaringan pasarnya dilibatkan dalam menjamin ketersediaan minyak goreng dan kebutuhan pokok lainnya, Yudianto juga berharap agar ada kemudahan akses bagi Inkoppas untuk mendapatkan pasokan kebutuhan pokok langsung dengan pabrikan dan BUMN Pangan.
Sepertinya memang sudah saatnya bagi koperasi untuk kembali menjadi bagian utama dari tiga pelaku ekonomi nasional, di samping BUMN dan swasta. Terlebih sebagai badan usaha yang berdasarkan asas kekeluargaan dan kegotongroyongan, bapak pendiri bangsa ini Bung Hatta meyakini bahwa koperasi adalah sokoguru perekonomian Indonesia.
Baca juga: Menkop dorong koperasi pangan dengan sistem pertanian terpadu
Pewarta: Hanni Sofia
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2022