Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan, bahwa pertemuan G20 Deputi Lingkungan dan Kelompok Kerja (Pokja) Keberlanjutan Iklim, di Yogyakarta pada 21-24 Maret, merupakan momentum untuk mewujudkan tindakan kolektif yang lebih berani untuk mengatasi tiga krisis planet.ketiganya saling berkaitan dan telah menyebabkan berbagai permasalahan di planet bumi
"Ini merupakan momentum mengatasi tiga krisis planet yaitu krisis iklim, hilangnya keanekaragaman hayati dan kelebihan populasi manusia, yang ketiganya saling berkaitan dan telah menyebabkan berbagai permasalahan di planet bumi saat ini," kata Siti Nurbaya dalam sambutan pembukaan G20 Environment Deputies Meeting and Climate Sustainability Working Group (G20 EDM-CSWG) di Yogyakarta, Selasa.
Dalam siaran pers Humas Kementerian LHK, yang diterima di Yogyakarta, Selasa, Menteri LHK mengatakan, mengadopsi Pakta Iklim Glasgow dan keputusan lainnya selama Pertemuan Konferensi Para Pihak (COP-26) ke-26 UNFCCC tahun 2021, Indonesia juga menekankan kebutuhan mendesak untuk meningkatkan upaya pengurangan emisi secara kolektif.
"Melalui aksi percepatan dan implementasi langkah-langkah mitigasi domestik, serta peran penting untuk melindungi, melestarikan dan memulihkan alam dan ekosistem dalam memberikan manfaat untuk adaptasi dan mitigasi iklim sambil memastikan perlindungan sosial dan lingkungan," katanya.
Baca juga: Pertemuan G20 di Yogyakarta bahas isu lingkungan dan perubahan iklim
Baca juga: BKPM sebut peta investasi RI konsisten dengan isu lingkungan di G20
Oleh karena itu, Menteri Siti mengatakan, jika Presidensi G20 Indonesia ini salah satunya bertujuan untuk menangkap topik-topik mendesak tentang proses dan perkembangan global untuk memberikan tindakan nyata, dengan mempertimbangkan warisan dan pekerjaan dari Presidensi G20 sebelumnya pada Pertemuan Deputi Lingkungan dan Kelompok Kerja Keberlanjutan Iklim (EDM CSWG).
Topik-topik ini disebutnya menjadi jalinan isu prioritas pada gelaran G20 EDM-CSWG yang meliputi, pertama, mendukung pemulihan yang lebih berkelanjutan untuk mempromosikan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan memaksimalkan manfaat tambahan dari program pemulihan Pasca-COVID-19 dan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.
Kedua, adalah meningkatkan tindakan berbasis darat dan laut untuk mendukung perlindungan lingkungan dan tujuan iklim (enhancing land- and sea-based actions to support environment protection and climate objectives) yang menekankan pentingnya kontribusi ekosistem yang unik untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, serta ekonomi biru.
"Serta yang ketiga, yaitu meningkatkan mobilisasi sumber daya untuk mendukung tujuan perlindungan lingkungan dan iklim (enhancing resource mobilization to support environment protection and climate objectives), untuk mendukung implementasi mekanisme pembiayaan yang inovatif dan mobilisasi pendanaan untuk alam, dengan melekatkan pada pentingnya dan peran sektor swasta," katanya.
Baca juga: RI dorong perkuat kolaborasi aksi iklim berbasis kelautan di forum G20
Oleh karena itu, Menteri Siti mengatakan, jika Presidensi G20 Indonesia ini salah satunya bertujuan untuk menangkap topik-topik mendesak tentang proses dan perkembangan global untuk memberikan tindakan nyata, dengan mempertimbangkan warisan dan pekerjaan dari Presidensi G20 sebelumnya pada Pertemuan Deputi Lingkungan dan Kelompok Kerja Keberlanjutan Iklim (EDM CSWG).
Topik-topik ini disebutnya menjadi jalinan isu prioritas pada gelaran G20 EDM-CSWG yang meliputi, pertama, mendukung pemulihan yang lebih berkelanjutan untuk mempromosikan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan memaksimalkan manfaat tambahan dari program pemulihan Pasca-COVID-19 dan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.
Kedua, adalah meningkatkan tindakan berbasis darat dan laut untuk mendukung perlindungan lingkungan dan tujuan iklim (enhancing land- and sea-based actions to support environment protection and climate objectives) yang menekankan pentingnya kontribusi ekosistem yang unik untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, serta ekonomi biru.
"Serta yang ketiga, yaitu meningkatkan mobilisasi sumber daya untuk mendukung tujuan perlindungan lingkungan dan iklim (enhancing resource mobilization to support environment protection and climate objectives), untuk mendukung implementasi mekanisme pembiayaan yang inovatif dan mobilisasi pendanaan untuk alam, dengan melekatkan pada pentingnya dan peran sektor swasta," katanya.
Baca juga: RI dorong perkuat kolaborasi aksi iklim berbasis kelautan di forum G20
Baca juga: Gerakan Konservasi Air dari Puri Kauhan Ubud sambut G20 di Bali
Dalam kaitannya dengan target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia, Menteri Siti mengatakan, bahwa Indonesia telah memprakarsai "Indonesia FoLU Net-Sink 2030", yang terdiri dari strategi dan pendekatan, di mana pada tahun 2030, tingkat penyerapan sektor FoLU di Indonesia akan seimbang atau bahkan lebih tinggi dari tingkat emisi.
Sementara, setelah tahun 2030, sektor FoLU ditargetkan untuk lebih menyerap Gas Rumah Kaca (GRK), sehingga jika dikombinasikan dengan kegiatan pengurangan emisi GRK dari sektor lain, akan mencapai emisi karbon netral atau net-nol pada tahun 2060 atau lebih cepat.
"Untuk mencapai target jangka menengah dan panjang dalam pengurangan emisi tersebut, ekosistem unik memainkan peran penting, termasuk di dalamnya ekosistem lahan gambut dan mangrove. Ekosistem unik di dunia itu memainkan peranan penting pengurangan emisi karbon dalam kaitannya dengan konservasi keanekaragaman hayati, penyimpanan dan pasokan air, perlindungan pesisir, dukungan perikanan, dan mata pencaharian masyarakat," kata Menteri Siti.
Dia menjelaskan, dengan total hampir 90 persen lahan gambut dunia dan sekitar 41 persen luas mangrove global dan juga ekosistem unik yang ada di negara-negara G20, menempatkan G20 pada posisi yang strategis untuk pengendalian perubahan iklim melalui perlindungan dan rehabilitasi lahan gambut dan mangrove.
Baca juga: Pakar: G20 momentum membahas isu iklim secara menyeluruh
Dalam kaitannya dengan target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia, Menteri Siti mengatakan, bahwa Indonesia telah memprakarsai "Indonesia FoLU Net-Sink 2030", yang terdiri dari strategi dan pendekatan, di mana pada tahun 2030, tingkat penyerapan sektor FoLU di Indonesia akan seimbang atau bahkan lebih tinggi dari tingkat emisi.
Sementara, setelah tahun 2030, sektor FoLU ditargetkan untuk lebih menyerap Gas Rumah Kaca (GRK), sehingga jika dikombinasikan dengan kegiatan pengurangan emisi GRK dari sektor lain, akan mencapai emisi karbon netral atau net-nol pada tahun 2060 atau lebih cepat.
"Untuk mencapai target jangka menengah dan panjang dalam pengurangan emisi tersebut, ekosistem unik memainkan peran penting, termasuk di dalamnya ekosistem lahan gambut dan mangrove. Ekosistem unik di dunia itu memainkan peranan penting pengurangan emisi karbon dalam kaitannya dengan konservasi keanekaragaman hayati, penyimpanan dan pasokan air, perlindungan pesisir, dukungan perikanan, dan mata pencaharian masyarakat," kata Menteri Siti.
Dia menjelaskan, dengan total hampir 90 persen lahan gambut dunia dan sekitar 41 persen luas mangrove global dan juga ekosistem unik yang ada di negara-negara G20, menempatkan G20 pada posisi yang strategis untuk pengendalian perubahan iklim melalui perlindungan dan rehabilitasi lahan gambut dan mangrove.
Baca juga: Pakar: G20 momentum membahas isu iklim secara menyeluruh
Pewarta: Hery Sidik
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022