• Beranda
  • Berita
  • Gernas BBI 2022 di Kepri buka harapan bagi UMKM terapkan bisnis hijau

Gernas BBI 2022 di Kepri buka harapan bagi UMKM terapkan bisnis hijau

2 April 2022 18:51 WIB
Gernas BBI 2022 di Kepri buka harapan bagi UMKM terapkan bisnis hijau
Pemiliki Rumah Keong, Suyanti Lelonowati, saat membuat bunga dari gonggong, Batam, Kepulauan Riau, Kamis (31/3/2022). ANTARA/M. Baqir Idrus Alatas.

Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI) 2022 di Kepulauan Riau (Kepri), Kota Batam, membuka harapan bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) untuk menerapkan bisnis hijau.

Seperti yang disampaikan oleh Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, peralihan ke bisnis hijau akan mengurangi dampak buruk perubahan iklim, meningkatkan kualitas produksi, biaya input yang lebih rendah, mendapatkan akses ke pasar baru, dan mampu menghasilkan produk atau layanan baru.

Dalam kampanye Gernas BBI 2022, terdapat salah satu pelaku UKM kreatif binaan Bank Indonesia Kepri, Suyanti Lelonowati atau akrab disapa Yanti, yang memamerkan produk usaha kerajinan tangan dari gonggong (jenis kerang-kerangan) hasil mengolah limbah laut.

Ia menjual pelbagai variasi bentuk produk yang dibuat menggunakan gonggong sebagai bahan utamanya, seperti bunga, pot bunga, pajangan, kalung, dan mahkota.

Kemampuan yang ia miliki untuk mengolah limbah laut merupakan kebiasaan sejak lama.

Awalnya, Yanti mempunyai hobi merangkai bunga gonggong untuk disimpan secara pribadi. Setelah bertemu dengan temannya yang juga membuat bunga gonggong dan mengatakan bahwa dirinya memiliki potensi daya kreatif, barulah ia merasa terpacu untuk menjadi seorang perajin sekaligus pengusaha produk gonggong.

Memasuki 8 Agustus 2010, Yanti akhirnya memutuskan untuk membangun tempat usaha bernama Rumah Keong di Batam karena melihat peluang usaha dari penjualan produk gonggong.

Saat baru memulai, ia tak mempunyai alat untuk mempermudah produksi kerajinan gonggong. Hingga kemudian Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kepri memberikan alat untuk membantu pengembangan produk tersebut.

Adanya alat bantu mendorong peningkatan produksi kerajinan gonggong, sehingga kian banyak orang yang mengetahui produk itu melalui pemasaran mulut ke mulut. Yanti mengenalkan pula produk buatannya kepada instansi setempat yang membidangi UKM dengan membawa katalog foto hasil kreasinya.

Lambat laun, pemasaran dilakukan melalui berbagai platform digital seperti Instagram, Facebook, dan WhatsApp.

Efeknya, banyak pelanggan dari luar negeri yang datang langsung ke tempat produksi gonggong untuk melakukan pembelian. Beberapa negara tersebut berasal dari Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, hingga Denmark.

Adapun pembeli dari pasar dalam negeri rata-rata berasal dari kota Surabaya, Jawa Timur. Para pelanggan dapat membeli kerajinan kreatif Rumah Keong mulai dari harga termurah yakni Rp10 ribu untuk setangkai bunga gonggong, hingga jutaan rupiah jika produk yang dibuat semakin rumit, seperti pohon bonsai gonggong.

Ia pun menerima pesanan khusus dari pelanggan, semisal pohon Natal gonggong sebesar satu meter bernilai Rp25 juta dengan memasang tiga ribu gonggong dalam waktu seminggu yang diminta oleh Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Batam pada tahun lalu.

“Tidak pernah terbayangkan saya akan membuat pohon natal dengan gonggong. Mungkin sedunia baru ada satu ini di Batam,” ungkap perempuan berumur 55 tahun tersebut ketika ditanya Antara, Kepri, Batam, Kamis (31/3).

Jika diperkirakan, penghasilan yang diperoleh saat ramai pembeli rata-rata sebesar Rp8 juta per bulan. Perolehan sebanyak itu sangat membantu dirinya untuk memenuhi kebutuhan dapur hingga mampu berangkat umrah.

Selain penghasilan, dia memperoleh tambahan relasi para pengusaha tingkat nasional maupun daerah yang memberikan inspirasi untuk mengembangkan usahanya.

Di sisi permodalan, mula-mula ia hanya membutuhkan ratusan ribu untuk memproduksi kerajinan gonggong karena bahan baku cukup dicari di pesisir pantai. Bahan baku itu dikumpulkan oleh istri para nelayan yang menawarkan diri menjadi penyuplai gonggong Rumah Keong.

Suplai bahan baku juga didapatkan dari para mahasiswa magang di sejumlah restoran. Mereka mengumpulkan gonggong dari limbah tempat kerjanya yang kemudian dijual ke Rumah Keong guna memperoleh tambahan penghasilan.

Memasuki masa pandemi COVID-19 pada tahun 2020, perkembangan bisnis gonggong miliknya menurun drastis sampai 0 persen.

Demi menyambung hidup dan menjaga Rumah Keong tetap berproduksi, Yanti menjual bunga-bunga hidup yang ditanam di teras galeri tempat usahanya. Karena itu pula usahanya tetap berjalan dan Rumah Keong bisa kembali dibuka secara normal di tahun ini.

Seiring melakukan kegiatan bisnis, Yanti menjadi pengurus Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) provinsi Batam di bidang kreatif dan daya saing selama dua periode, yakni sejak 2011 hingga 2021.

Dengan kapasitasnya sebagai ahli pembuat kerajinan gonggong, perempuan kelahiran Batam itu memberikan pelatihan gratis kepada ibu-ibu di sekitar lingkungannya.

Pelatihan diberikan pula di Lembaga Pemasyarakatan Badan Narkotika Nasional (Lapas BNN), sekolah swasta, dan terhadap UKM binaan Dinas Kelautan dan Perikanan Pemerintah Kota (Pemkot) Batam.

Salah satu UKM binaan BI Kepri lainnya yang tampil dalam pameran Gernas BBI 2022 ialah Isna Puring, sebuah usaha kriya eceng gondok milik Tisnawati yang memenangkan kategori kerajinan ramah lingkungan pada program tersebut

Sejak tahun 2013, ia memulai usaha potensi eceng gondok karena melihat potensi besar tanaman itu guna dimanfaatkan sebagai bahan baku produk kreatif.

UKM milik Isna, sapaan akrab Tisnawati, memperoleh bantuan dari Dekranasda serta Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kota Batam yang memberikan perizinan usaha maupun pelatihan.

Pemberian fasilitas dari Pemkot setempat mendorong branding produk kriya eceng gondok yang secara perlahan dikenal oleh masyarakat dari mulut ke mulut, hingga akhirnya masuk ke dalam ekosistem digital.

“Orang-orang luar tau produk kita dari Google Business, WhatsApp Business, Shopee, dan Bukalapak. Kita ada reseller dari Singapura dan Malayasia, sehingga setiap bulan pasti mengirim produk ke sana,” ucapnya yang berumur 49 tahun ketika ditanya Antara, Kepri, Batam, Jumat (1/4).

Karena melakukan proses digitalisasi, para konsumen dari luar negeri mulai berdatangan untuk membeli ragam jenis kriya dari eceng gondok yang harganya berada di kisaran Rp30 ribu hingga Rp2,5 juta. Antara lain pot bunga, meja, dan kursi.

Permintaan juga datang dari Amerika Serikat yang menjadi negara awal pengimpor produk kriya eceng gondok milik Isna. Belum lagi keterlibatan Isna Puring dalam berbagai pameran di Singapura, Malaysia, Jepang, Jakarta, dan Bandung yang mendorong perluasan kontribusi ekspor Indonesia dan penyebaran produk ke pasar dalam negeri.

Biasanya, lanjut dia, permintaan para pembeli ialah pajangan dari eceng gondok untuk dipasang di cafe, restoran, dan hotel sebagai “pemanis mata”.

Dari berbagai penjualan produk, katanya, keuntungan yang diperoleh lumayan besar sehingga dapat membantu masyarakat sekitar.

Mengenai modal awal yang dibutuhkan, Isna menyatakan hanya membutuhkan Rp500 ribu saja karena bahan baku bisa diperoleh secara gratis dengan mengambil dari 12
titik danau di Batam.

Saat pandemi COVID-19 merebak di Indonesia, penjualan kriya eceng gondok justru meningkat 40-50 persen terutama produk pot bunga yang laku 1.500 buah.

Sembari berbisnis, Isna turut melatih para calon pengrajin kriya eceng gondok yang biasa dilakukan bersama Pemkot Batam. Dari situ pula ia merekrut siapa saja yang mampu menghasilkan produk eceng gondok yang berkualitas.

“Kita harus kembali ke alam karena banyak banget penggunaan plastik. Ayo sama-sama kita menggunakan yang ramah lingkungan, setidaknya yang lebih sehat lagi untuk masa depan anak cucu kita,” sebut dia.

Sesama pelaku UKM yang menerapkan bisnis hijau, mereka menunjukkan kepedulian terhadap masa depan dengan menekan dampak buruk dari limbah terhadap iklim. Penggunaan bahan baku yang sangat murah memperlihatkan pula bahwa bisnis berbasis kelestarian lingkungan memiliki biaya input yang rendah.

Harapan kepada pemerintah

Berdasarkan penuturannya, Yanti mengaku belum memperoleh bantuan dari Pemkot Batam meskipun telah mendapatkan dari Pemerintah Provinsi Kepri.

Sembari terharu, ia mengharapkan bisnis ini dilanjutkan generasi masa depan karena masih banyak limbah gonggong di pesisir laut yang masih menggunung.

“Ini ikon kota Batam loh. Sampahnya menggunung, bisa dibuat sesuatu, dan bernilai tinggi,” ungkap dia.

Dalam hal ini, Dinas Pendidikan setempat disebut dapat memberikan arahan kepada anak-anak muda yang memiliki talenta di bidang kerajinan agar semakin bangga mengolah dan menggunakan produk lokal.

Kedua, Yanti menginginkan pemerintah mengembangkan UMKM dengan mempermudah berbagai kendala yang dihadapi pelaku kreatif lokal agar masyarakat semakin sejahtera.

Selanjutnya, memberikan pembinaan kepada talenta-talenta yang memiliki bakat kerajinan dan mau bekerja. Serta, memfasilitasi para pelaku UKM agar lebih mudah menjual pelbagai produk lokal, seperti mewajibkan setiap hotel di Batam membeli produk dari mereka.

Dengan itu, ia meyakini cita-cita memajukan sektor ekonomi kreatif di Batam akan tercapai.

Adapun Tisnawati menyampaikan apresiasi luar biasa terhadap Pemkot Batam karena telah memberikan dukungan pengembangan usahanya.

Ia mengharapkan Pemkot bisa mendorong produk-produk kreatif, khususnya di sektor kuliner, kriya, dan fesyen, agar UKM dari Batam tidak kalah bersaing dengan produk dari daerah lainnya.

Baca juga: Teten dorong PLUT di Batam jadi jendela produk UMKM masuk pasar global

Baca juga: Pelaku UMKM butuh Gernas BBI 2022 untuk tempat promosi

Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022