“Saat ini kami prediksi ada sekitar Rp600 triliun sampai Rp700 triliun DPK yang bisa dibilang menumpuk di perbankan,” katanya dalam Indonesia Macroeconomic Updates 2022 di Jakarta, Senin.
Febrio menyatakan penumpukan DPK mencapai Rp700 triliun di perbankan itu terjadi karena adanya kenaikan harga komoditas unggulan Indonesia seperti sawit dan batu bara akibat situasi geopolitik antara Rusia dan Ukraina.
Ia menuturkan kenaikan harga komoditas ini biasanya memberi dampak positif pada sektor keuangan yakni adanya tambahan likuiditas di perbankan.
Baca juga: LPS jamin 99,92 persen dari total rekening di 2021
“Kita menikmati transmisi dari tambahan likuiditas yang terjadi dengan tingginya harga komoditas akan mengalir ke sektor perbankan,” ujarnya.
Tak hanya ke sektor perbankan, kenaikan harga komoditas turut dinikmati oleh sektor lain seperti para petani kelapa sawit maupun sektor di sekitarnya.
Menurut Dia, hal tersebut berdampak pada penjualan yang tinggi pada kendaraan bermotor, televisi maupun elektronik sehingga mencerminkan konsumsi masyarakat naik.
Baca juga: BI: Pertumbuhan dana pihak ketiga melambat pada Agustus 2021
“Artinya akan menyalurkan DPK di perbankan yang selama dua tahun ini tumbuh sangat tinggi di atas 10 persen,” tegasnya.
Dia berharap dana di perbankan ini akan mulai digunakan masyarakat untuk melakukan konsumsi baik membeli elektronik, kendaraan bermotor, pakaian hingga traveling.
“Ini kami harapkan transmisi akan baik ke perekonomian,” kata Febrio.
Baca juga: LPS catat simpanan masyarakat tumbuh 10,91 persen
Baca juga: Ditopang DPK, BNI raup laba bersih Rp4,46 triliun di tengah pandemi
Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2022