"Jadi sejarahnya, sesungguhnya adalah memperjuangkan perempuan yang menjadi korban perkosaan," kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani pada diskusi bertajuk "Perkosaan Tidak Bisa Diatur dalam RUU TPKS?" yang dipantau di Jakarta, Selasa.
Para korban, sambung dia, kadang disebut sebagai korban pencabulan, persetubuhan atau korban pelecehan seksual. Hal itu untuk merujuk pada tindakan perkosaan yang kini bisa lebih baik mendapatkan akses keadilan dan pemulihan.
Baca juga: Aktivis Perempuan: Puan miliki momentum mensahkan RUU TPKS
Dalam diskusi itu, Andy menceritakan sejarah dari upaya merumuskan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang berkaitan dengan lahirnya Komnas Perempuan.
Komnas Perempuan lahir semasa tragedi kerusuhan Mei sebagai latar belakang awal. Pada saat itu, terjadi pemerkosaan dan kekerasan seksual di tengah penjarahan dan pembakaran yang terjadi di Jakarta dan kota-kota besar lainnya.
Untuk mengetahui detail kejadian pada saat itu, kata Andy, bisa merujuk pada dua laporan. Pertama, di tingkat internal atau di Indonesia, yakni dari Tim Pencari Fakta. Dalam temuannya menyebutkan bahwa tindakan kekerasan seksual akan sulit diangkat karena keterbatasan dari sistem hukum pidana.
Baca juga: Aktivis minta RUU TPKS dibahas mendalam dan komprehensif
"Salah satunya karena definisi perkosaan yang sangat terbatas," kata dia.
Kedua berdasarkan laporan yang disampaikan oleh PBB yang datang secara khusus dan resmi terkait tindak pidana kekerasan terhadap perempuan yang terjadi.
Dalam laporannya, disebutkan bahwa menyangkut substansi hukum dan struktur hukum. Pada saat itu, perlindungan bagi korban untuk mengungkap kasus yang dialaminya masih sangat terbatas.
Baca juga: ICJR: Pasal Pemaksaan Perkawinan harus muat unsur ketiadaan 'consent'
"Di samping ada juga budaya menyangkal atau budaya menyalahkan korban," ujar dia.
Secara umum, isu perkosaan terus mengambil ruang utama dalam perhatian publik. Dari kasus yang didata, kasus perkosaan selalu menjadi komponen terbanyak dari kasus yang dilaporkan.
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2022