"Kalau menurut saya, penggunaan instrumen teknologi dalam pemilu, seperti e-voting perlu hati-hati, bijak, dan intinya, asas kepercayaan publik itu penting jika pemilu di Indonesia hendak menggunakan teknologi," kata Ninis, sapaan akrab Khoirunnisa Nur Agustyati, saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Rabu.
Di samping itu, dia juga menilai penggunaan e-voting sulit untuk diterapkan dalam Pemilu 2024 karena saat ini pihak penyelenggara hanya memiliki waktu 2 tahun sehingga persiapan instrumen teknologinya, penyelenggaraan uji coba, dan jaminan keamanan sibernya sulit pula untuk dipenuhi dalam waktu sesingkat itu.
Lebih lanjut, Ninis menjelaskan bahwa penggunaan instrumen teknologi dalam pemilu secara bijak berarti pemanfaatan teknologi tersebut merupakan suatu solusi atas permasalahan yang ada dalam penyelenggaraan pesta demokrasi di Indonesia.
"Menurut saya, penggunaan instrumen teknologi dalam pemilu itu perlu bijak, yakni perlu melihat bahwa teknologi itu menjadi solusi atas permasalahan pemilu di Indonesia. Sebetulnya, dari sisi pemungutan suara ketika orang mencoblos, itu tidak ada masalah. Yang bermasalah justru adalah pada saat tahapan rekapitulasi suara," ujarnya.
Ninis mengatakan bahwa penghitungan suara dalam pemilu di Indonesia menghadapi masalah terkait dengan potensi jual beli suara dan penukaran suara.
Dengan demikian, Ninis menilai penggunaan e-voting dalam pemilu di Indonesia, khususnya pada Pemilu 2024, belum mendesak untuk diimplementasikan.
Ia menekankan bahwa pemanfaatan teknologi lebih diperlukan dalam penghitungan suara, seperti melalui Sistem Informasi Rekapitulasi Elektronik (Sirekap) yang diinisiasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sejak Pilkada 2020.
Selanjutnya, Ninis menjelaskan bahwa pemanfaatan teknologi dalam pemungutan suara juga perlu memenuhi salah satu syarat, yakni harus mampu menimbulkan kepercayaan publik agar tidak ada gugatan terhadap legitimasi proses dan hasil pemilu dari masyarakat.
Bahkan, dia menyebutkan beberapa negara yang awalnya menerapkan e-voting mulai meninggalkan pemungutan suara secara elektronik itu, salah satunya adalah Jerman.
"Kalau melihat perkembangan negara-negara lain yang menggunakan e-voting, banyak negara yang sudah meninggalkan itu. Contohnya adalah Jerman. Tadinya, pemungutan suara dalam pemilu mereka secara elektronik. Akan tetapi, kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi Jerman karena orang tidak percaya pada teknologi tersebut sehingga balik lagi ke manual," kata Ninis.
Baca juga: Perludem sayangkan pembahasan anggaran pemilu tunggu pelantikan KPU
Baca juga: Pengamat: Erick Thohir bisa dongkrak elektabilitas capres
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022