Hal tersebut dikarenakan sanksi yang dikenakan pada Rusia saat ini membuat negara-negara di dunia berpikir tentang potensi mereka terkena sanksi serupa di masa depan yang berdampak terhadap ketersediaan pangan dan energi.
"Dalam konteks itu, tentu masing-asing negara akan melihat kepada kemampuan secara nasional untuk melakukan proses produksi pangan itu sendiri, baik di dalam negeri maupun di kawasan," kata Mahendra dalam diskusi daring "Konflik Rusia-Ukraina: Sanksi Ekonomi dan Implikasi Global, Regional, dan Lokal", Kamis.
Sementara itu, untuk memitigasi dan meminimalisir risiko dari pemblokiran Rusia dalam sistem pembayaran SWIFT, ia memperkirakan akan muncul sistem-sistem pembayaran internasional untuk mata uang di luar dolar dan euro.
Baca juga: Lithuania: Sanksi Uni Eropa harus targetkan sektor minyak Belarus
"Ini akan melengkapi sistem pembayaran internasional berbasis dolar dan euro sehingga ada kemungkinan ke depan muncul langkah-langkah dedolarisasi," imbuhnya.
Selain konflik Rusia-Ukraina, menurutnya saat ini juga muncul perang ekonomi dingin atau economic cold war antara Amerika Serikat dan China yang perlu diantisipasi ke depan karena bisa merugikan Indonesia dengan politik internasional bebas aktif yang harus memilih berpihak pada salah satu negara.
Namun demikian, perang dingin ekonomi tersebut juga bisa memberikan keuntungan bagi Indonesia.
"Di samping bisa bantu meredakan ketegangan dari ekonomic cold war itu, dalam konteks pertumbuhan ekonomi dan juga kecepatan reformasi untuk iklim investasi, kita sebenarnya memiliki kesempatan cukup besar untuk melaverage kondisi politik kita bagi kepentingan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan," ucapnya.
Baca juga: Putin larang warga transfer valas ke luar Rusia mulai 1 Maret
Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2022