"Salah satu dampak ketegangan geopolitik Rusia dan Ukraina adalah meningkatnya bahkan melonjaknya harga-harga komoditas global seperti energi dan pangan. Tentu saja berimbas terhadap perkembangan harga dalam negeri," ungkap Perry dalam Pengumuman Hasil RDG Bulanan Bulan April 2022 Cakupan Triwulanan di Jakarta, Selasa.
Ia pun menilai besaran dampak konflik kedua negara terhadap harga di dalam negeri akan sangat tergantung pada kebijakan fiskal yang ditempuh pemerintah.
Baca juga: BI turunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2022 jadi 3,5 persen
Oleh karena itu, koordinasi BI dan pemerintah terus dilakukan untuk mengukur seberapa jauh kenaikan harga komoditas tersebut, seberapa jauh yang akan diserap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), serta seberapa jauh dampaknya terhadap inflasi harga yang diatur pemerintah (administered price).
"Yang sudah kami lihat dan kami masukan dalam perkiraan kami adalah kenaikan harga barang non subsidi, pertamax, dan lainnya. Dari berbagai asesmen itu tentu saja akan diberikan penjelasan dari pemerintah dan kami terus berkoordinasi," katanya.
Kendati demikian, Perry memperkirakan dampak kenaikan inflasi administered price terhadap inflasi inti akan lebih rendah dibandingkan dengan kondisi normal karena kesenjangan output alias output gap yang masih negatif.
Dengan begitu, respons kebijakan moneter BI akan dikalibrasi, direncanakan, dan dikomunikasikan dengan baik jika nantinya terdapat kenaikan inflasi inti.
Baca juga: Rupiah menguat seiring keputusan BI tahan suku bunga acuan
Respons tersebut, kata dia, dapat berupa kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM) kembali atau kemungkinan kenaikan suku bunga acuan, namun masih akan sangat tergantung terhadap respons kebijakan pemerintah khususnya yang berimplikasi kepada administered prices.
"Rencana stand sudah kami arahkan bersama, tetapi ukurannya, besarannya, urutannya, jaraknya, dan waktunya akan sangat tergantung dari kebijakan yang diambil pemerintah," tutur Perry.
BI mencatat Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Maret 2022 menunjukkan inflasi sebesar 0,66 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm), serta sebesar 2,64 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/yoy) atau lebih tinggi dari bulan sebelumnya 2,06 persen (yoy).
Inflasi kelompok administered prices meningkat dipengaruhi oleh inflasi bahan bakar rumah tangga dan bensin karena penyesuaian harga LPG non subsidi dan Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi, serta inflasi angkutan udara seiring dengan meningkatnya mobilitas masyarakat.
Meski begitu, inflasi inti tetap terjaga di tengah permintaan domestik yang mulai meningkat, stabilitas nilai tukar yang terjaga, dan konsistensi kebijakan Bank Sentral dalam mengarahkan ekspektasi inflasi.
Secara keseluruhan tahun ini, Otoritas Moneter optimistis inflasi tetap terkendali dalam sasaran dua sampai empat persen, sejalan dengan masih memadainya sisi penawaran dalam merespons kenaikan sisi permintaan, tetap terkendalinya ekspektasi inflasi, stabilitas nilai tukar rupiah, serta respons kebijakan yang ditempuh BI dan pemerintah.
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022