"Sistem pemilu proporsional terbuka di tengah sistem multipartai saat ini membuat perempuan calon anggota legislatif (caleg) harus berkompetisi dalam skema pasar bebas sehingga sepenuhnya bergantung pada pilihan pemilih di pemilu," kata Titi Anggraini menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang, Rabu petang, dalam rangka Hari Kartini yang peringatannya setiap 21 April.
Jika pemilihnya tidak terpapar informasi dengan baik soal perempuan caleg ataupun masih berpandangan bias gender dan diskriminatif, menurut Titi, tentu akan lebih berat bagi perempuan untuk menang. Apalagi, pemilu sangat kompetitif di tengah jumlah caleg yang sangat banyak dari berbagai partai dengan daerah pemilihan dan jumlah pemilih yang sangat luas dan besar untuk mereka jangkau.
Baca juga: Perludem sebut ketergantungan aturan pemilu pada yudisialisasi politik
Titi lantas mengungkapkan faktor lain yang melatarbelakangi keterwakilan perempuan di DPR RI hingga hasil Pemilu 2019 belum mencapai 30 persen atau baru sekitar 20,8 persen dari 575 anggota DPR RI adalah hambatan kultural di tengah masyarakat masih sangat besar, khususnya pandangan bahwa pemimpin itu seharusnya laki-laki.
Hambatan kultural ini, kata dia, kemudian diikuti oleh perlakuan diskriminatif yang diterima perempuan. Misalnya, marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan, ataupun beban ganda. Perlakuan diskriminatif tersebut tentu menghambat perempuan untuk dapat berkompetisi secara setara dalam kompetisi elektoral.
Faktor lainnya, politik biaya tinggi pada pemilu di Indonesia membuat perempuan sulit menang. Bukan hanya ongkos politik yang mahal, melainkan makin diperburuk dengan praktik politik transaksional yang marak terjadi, khususnya berupa jual beli suara atau politik uang.
Baca juga: Perludem: Irisan pemilu/pilkada pengaruhi integritas penyelenggara
"Harus diakui ada keterbatasan modal yang dimiliki perempuan dalam ikut pemilu," kata Titi yang pernah terpilih sebagai Duta Demokrasi International Institute for Electoral Assistance (International IDEA).
Anggota Dewan Pembina Perludem ini mengemukakan bahwa kebanyakan perempuan politik masih menggantungkan pendanaan pada sokongan dana dari keluarga atau pasangan saat mereka maju berpolitik. Apalagi, ada kecenderungan perempuan untuk memerankan politik etis dalam berkompetisi dan menghindari cara-cara yang ilegal atau koruptif.
Selain faktor tersebut, menurut dia, dukungan politik yang rendah dari partai. Partai masih cenderung menganggap keterwakilan perempuan sebagai beban daripada suatu keniscayaan dalam berdemokrasi. Hal ini menyebabkan perempuan pada pemilu anggota legislatif banyak yang ditempatkan di pencalonan yang kurang strategis dalam konteks nomor urut ataupun daerah pemilihan.
Baca juga: Perludem: Pemilu menyumbang perbaikan kinerja demokrasi negara
Penempatan pada nomor urut bawah dan dapil yang tidak strategis, lanjut Titi, membuat perempuan jadi sulit untuk bisa menang. Selain itu, partai juga kerap kali tidak melakukan pengawalan dalam memastikan keterpilihan caleg dari kalangan perempuan, baik melalui sokongan pendanaan ataupun penguatan kapasitas untuk kerja-kerja pemenangan lainnya.
Terakhir, kata dia, hambatan akses informasi yang banyak dialami perempuan, mulai dari akses pada informasi pencalonan beserta persyaratan-persyaratannya maupun akses pada data-data atau perkembangan kompetisi. Oleh karena itu, perempuan caleg sering tertinggal dalam proses kompetisi yang berlangsung.
Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2022