Budi memaparkan hal itu dalam forum Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) X hari ketiga di Jakarta yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia bersama Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan dari 8 hingga 10 November.
"LIPI sudah meningkatkan kualitas produksi, tapi ruang untuk melakukan proses produksi sangat terbatas," kata Budi yang juga merupakan Guru Besar Ilmu Tanah dari Institut Pertanian Bogor.
Hanya ada sepertiga tanah yang dapat digunakan untuk pembangunan strategi negara, ucapnya.
"Masih ada dua pertiga tanah, namun secara yuridis, lahan ini tidak nampak sehingga tidak mudah untuk digunakan," Budi mengungkapkan.
Tertutup atau terbatasnya akses pada tanah akibat sengketa pertanahan atau konflik penguasaan tanah, serta penggunaan tanah yang belum optimal merupakan penyebab lain sulitnya pengembangan produksi sumber daya pangan, kata Budi.
Penggunaan tanah yang tidak digarap atau yang disebut sebagai tanah terlantar itu, membuat lahan tidak menghasilkan apa pun yang dapat menyejahterakan rakyat, sehingga menimbulkan kerugian sosial ekonomi bagi negara dan masyarakat.
"Tercatat 7,3 juta hektar tanah, teridikasi sebagai tanah terlantar dan tersebar di 33 provinsi," ungkap Budi yang menjelaskan bahwa jumlah luas lahan terlantar tersebut sekitar 120 kali luas wilayah Singapura.
Budi menambahkan, hal tersebut dapat mengakibatkan potensi kerugian negara mencapai Rp5,719 triliun per lima tahun, karena hilangnya penerimaan negara yang berasal dari pajak tanah, bea peralihan tanah, serta perputaran ekonomi yang tidak berjalan.
"Tanah terlantar itu baru dapat digunakan setelah ditertibkan terlebih dahulu".
Budi menambahkan bahwa upaya penertiban tanah terlantar tersebut, sudah dilakukan oleh BPN sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 11 tahun 2010 serta turunannya.
(SDP-02)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011