Penderita Diabetes meningkat 2-3 kali pada 2030

14 November 2011 21:42 WIB
Penderita Diabetes meningkat 2-3 kali pada 2030
Dirjen pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan, Profesor tjandra yoga aditama (FOTO ANTARA/Fanny Octavianus)
Jakarta (ANTARA News) - Penderita diabetes mellitus (DM) di Indonesia diperkirakan akan meningkat pesat hingga 2-3 kali lipat pada tahun 2030 dibandingkan tahun 2000.

Indonesia juga telah menduduki rangking keempat jumlah penyandang diabetes terbanyak setelah Amerika Serikat, China dan India, kata Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama, di Jakarta, Senin.

"Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Indonesia Tahun 2003, diperkirakan penyadang diabetes pada tahun 2003 sebanyak 13,7 juta orang dan berdasarkan pola pertambahan penduduk diperkirakan pada 2030 akan ada 20,1 penyandang diabetes dengan tingkat prevalensi 14,7 persen untuk daerah urban dan 7,2 persen di rural," katanya di Jakarta, Senin, dalam rangka memperingati hari Diabetes Dunia tiap tanggal 14 November.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga memprediksi kenaikan jumlah penyandang diabetes mellitus di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.

Demikian juga halnya Badan Federasi Diabetes Internasional (IDF) pada tahun 2009 memperkirakan kenaikan jumlah penyandang diabetes mellitus dari 7,0 juta tahun 2009 menjadi 12,0 juta tahun 2030.

"Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya menunjukan adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030," kata Tjandra.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, angka prevalensi diabetes mellitus tertinggi terdapat di provinsi Kalimantan Barat dan Maluku Utara (masing-masing 11,1 persen), diikuti Riau (10,4 persen) dan NAD (8,5 persen).

Sedangkan prevalensi diabetes mellitus terendah ada di provinsi Papua (1,7 persen), diikuti NTT (1,8 persen), Prevalensi Toleransi Glukosa Terganggu tertinggi di Papua Barat (21,8 persen), diikuti Sulbar (17,6 persen) dan Sulut (17,3 persen), sedangkan terendah di Jambi (4 persen), diikuti NTT (4,9 persen).

Sementara itu angka kematian akibat DM terbanyak pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan sebesar 14,7 persen, sedangkan di daerah pedesaan sebesar 5,8 persen.

Tjandra menyebut saat ini, diabetes mellitus terjadi bukan hanya terjadi pada orang dewasa, namun juga terjadi pada bayi dan anak.

Ia merujuk kepada data yang dikumpulkan Unit Kerja Koordinasi (UKK) Endokrinologi Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sejak Mei 2009 hingga Februari 2011 menunjukkan terdapat 590 anak dan remaja berusia di bawah 20 tahun yang merupakan penyandang diabetes tipe 1 di seluruh Indonesia.

"Data ini diperkirakan merupakan puncak gunung es sehingga jumlah penderita yang sesungguhnya di populasi tentu lebih banyak lagi yang masih belum terdeteksi," kata Tjandra.

Faktor resiko diabetes ada dua yaitu faktor resiko yang tidak bisa diubah seperti ras dan etnik, riwayat keluarga, umur, riwayat melahirkan bayi dengan berat lebih dari 4 kilogram atau pernah menderita DM gestasional dan riwayat lahir dengan berat badan rendah (kurang dari 2,5 kilogram).

Sedangkan faktor risiko yang bisa dimodifikasi untuk DM adalah berat badan lebih, kurangnya aktivitas fisik, hipertensi, Dislipidemia dan diet tak sehat atau diet tinggi gula dan rendah serat yang akan meningkatkan risiko menderita prediabetes dan DM tipe 2.

Hasil Riskesdas tahun 2007 memperlihatkan prevalensi beberapa faktor risiko diabetes seperti obesitas umum 19,1 persen, obesitas sentral 18,8 persen, perokok 23,7 persen, kurang makan buah dan sayur 93,6 persen, sering makan/minum makanan/minuman manis 65,2 persen, kurang aktifitas fisik 48,2 persen, sering makan makanan berlemak 12,8 persen, gangguan mental emosional 11,6 persen dan konsumsi alkohol pada 12 bulan terakhir sebesar 4,6 persen.

Sementara itu, untuk mengurangi faktor resiko diabetes tersebut, Tjandra menyebut regulasi kandungan gula pada makanan ringan di Indonesia yang dimuat dalam Permenkes No. 208/1985 tentang Pemanis buatan dan Permenkes No. 722/1988 tentang bahan tambahan makanan harus ditinjau ulang dan direvisi mengingat hanya empat jenis pemanis buatan yaitu aspartaam, sakarin, siklamat dan sarbitol yang diatur dalam produk pangan yang ternyata sudah diperuntukkan bagi pelaku diet rendah kalori dan penderita DM.

"Yang terpenting juga saat ini adalah bagaimana dapat melakukan implementasi regulasi yang sudah dilakukan secara optimal dengan dukungan berbagai pihak. Di sisi lain, aturan yang ada juga akan terus disempurnakan sepanjang diperlukan," ujarnya.
(T.A043/Z003)


Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011