Menurut Hikmahanto dalam keterangannya kepada ANTARA di Jakarta, Senin, hal itu karena kebijakan pemerintah AS kerap berubah-ubah bergantung pada partai yang memegang pemerintahan.
Ia kemudian mencontohkan kasus Timor Timur. "Ketika Gerald Ford dari Partai Republik berkuasa, pemerintah AS seolah merestui Indonesia `masuk` ke Timor Timur. Namun ketika Partai Demokrat berkuasa justru Indonesia mendapat tekanan atas dasar penggunaan kekerasan dan pelanggaran HAM di Timor Timur," katanya.
Demikian pula, kata dia, ketika Amerika Serikat dipimpin oleh Presiden George W Bush yang berasal dari Partai Republik, terduga pelaku teroris Umar Patek dikejar bahkan dihargai penangkapannya dengan uang bagi siapa pun yang berhasil menangkapnya.
Namun, lanjut dia, ketika Barack Obama yang berasal dari Partai Demokrat berkuasa, justru enggan mengekstradisi Umar Patek ketika tertangkap oleh otoritas Pakistan.
Kebijakan yang berubah-ubah itu, menurut Hikmahanto, dapat dianalisis kecenderungannya dan harus menjadi acuan bagi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menyikapi penempatan pasukan marinir AS.
Ia berharap pemerintah tetap kritis dan tidak meremehkan penempatan pasukan AS. Ia juga menyayangkan pernyataan yang mengatakan bahwa keberadaan pasukan AS tidak terkait dengan Papua.
Pernyataan tersebut, dinilainya, terlalu dini dan kurang memperhatikan konstelasi kepentingan baik ekonomi dan politik AS di Indonesia.
"Secara ekonomi, misalnya, pembelian 230 pesawat Boeing oleh Lion Air sedemikian penting hingga disaksikan oleh Presiden Obama. Kehadiran Obama untuk menunjukkan bahwa ia berhasil membuka lapangan kerja bagi rakyat AS. Ini jelas merupakan kepentingan AS," ujarnya.
Oleh karenanya, lanjut dia, pemerintah harus selalu waspada dan kritis atas kebijakan penempatan pasukan AS di Australia utamanya bila melihat dinamika yang ada di Papua saat ini dan konsekuensinya di masa mendatang.
(Tz.A017*G003)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011