Atambua, NTT (ANTARA News) - Desa Wehas pada satu pagi, dari ketinggian bukit di dekat Mota Ain itu, pandangan mata mampu menyapu bersih laut dan perairan di perbatasan negara. Hanya 10 menit berkendaraan roda dua dari desa yang masih terlihat rumah-rumah tradisional di Kabupaten Belu, NTT, itu terdapat tapal batas negara.... karena kepentingan politik negara, maka perbedaan waktu satu jam berlaku padahal area pemisah negara itu cuma garis kuning selebar 15 sentimeter di jembatan Sungai Mota Ain...
Langit biru cerah yang bebas pencemaran udara memberi nuansa dan kesan tersendiri dalam mata ini mencermati tiap hal yang ada dalam pandangan. Penduduk setempat yang masih sangat tidak akrab dengan hal-hal modern berlalu-lalang, kayu bakar yang dijual Rp6.000,00 seikat--jadi andalan untuk memasak--ditegakkan di pinggir-pinggir jalan.
Pohon gamal--diberi nama begitu oleh tokoh terhormat NTT, Frans Seda, merupakan singkatan dari Ganyang Mati Alang-alang, karena cuma pohon itu yang terbukti ampuh memusnahkan alang-alang--subur tumbuh di mana-mana. Daung gamal inilah yang jadi andalan pakan ternak sapi, dan hewan ternak ini adalah hidup bagi mereka.
Menuruni perbukitan dengan jalan aspal lepas berliku, kendaraan tidak terlalu mudah mengembangkan kecepatan hingga 50 kilometer per jam. Sekitar 10 menit kemudian, portal pertama yang dibangun Kepolisian Daerah NTT ada di depan mata. Biasanya, tiap orang yang akan menuju Pintu Lintas Batas Utama Mota Ain harus melapor diri ke Kantor Polsek Mota Ain itu.
Selesai berurusan di polisi, masih ada lagi portal kedua yang dipasang hanya 50 meter dari portal pertama itu! Kendaraan atau orang yang melintas harus ke kanan, menuju bangunan Pos Pemeriksaan Bersama milik beberapa instansi yang berkepentingan di perbatasan Indonesia dengan negara Timor Timur.
Pertama adalah pos milik TNI, yang dijaga Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan Indonesia-Timor Timur Markas Besar TNI. Pos kedua milik Balai Karantina NTT, pos ketiga milik Kepolisian Daerah NTT, dan pos terakhir milik Kantor Imigrasi Atambua. Urutan begitu harus dilalui pelintas jika ingin masuk ke negara Timor Timur. Jika pelintas ingin masuk Indonesia, maka urutannya dibalik dari sisi belakang bangunan yang memiliki dua pintu; di depan dan belakang pos masing-masing yang berdiri berjejera itu.
Pos Lintas Batas Utama Mota Ain di Kecamatan Tasifeto Timur, Belu, itu dibuka dari pukul 08.00 hingga 16.00 WITA, dan sejawatnya di Pos Lintas Batas Imigrasi Batugade milik negara Timor Timur, juga pada durasi yang sama. Mengingat negara itu memiliki standar waktu satu jam lebih cepat dari WITA, maka berarti jam operasionalnya menjadi sama dengan pukul 09.00-15.00 WITA.
Begitulah, karena kepentingan politik negara, maka perbedaan waktu satu jam berlaku padahal area pemisah negara itu cuma garis kuning selebar 15 sentimeter di jembatan Sungai Mota Ain. Itulah batas resmi kedua negara, terdapat tugu batas negara lengkap dengan koordinat sampai hitungan detik satelit yang keduanya ditandatangangi Menteri Luar Negeri Indonesia (saat itu) Hassan Wirajuda dan Menteri Luar Negeri negara Timor Timur (saat itu) Jose Ramos Horta.
Saban siang, kesibukan menjadi agak luar biasa di pos lintas batas itu, karena kendaraan-kendaraan mikro bus menurunkan pelanggannya di sana untuk berlintas antarnegara. Puluhan orang mengantre secara tertib untuk memenuhi persyaratan administrasi dan dokumen resmi. Yang tidak tertib adalah porter dan money changer berjalan itu.
Yang menarik, sejak hampir 10 tahun pos itu berdiri, data pelintas, kendaraan, dan barang bawaan dicatat satu demi satu secara manual dalam buku catatan biasa, hanya imigrasi yang memasukkan data itu ke dalam komputer. Akan tetapi, komputer itu tidak terhubung dengan internet, jadi data dari semua instansi itu harus dikirim ke kantor pimpinan mereka masing-masing memakai faksimile. Sungguh tidak praktis dan bisa memperlambat pelayanan serta rawan kesalahan. (Bersambung)
Oleh Ade P. Marboen
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2011