Menurut Direktur Eksekutif PASPI Tungkot Sipayung, kalau terlalu lama diterapkan maka kebijakan tersebut akan berdampak buruk bagi petani sawit paling tidak hingga dua tahun ke depan.
"Harga TBS turun sehingga para petani tidak sanggup membeli pupuk. Apalagi saat ini pupuk mahal. Karena tak memupuk, produksi tanaman sawitnya akan turun. Dan ini dampaknya bisa sampai dua tahun,” katanya melalui keterangan tertulis di Jakarta, Senin.
Dikatakannya, pascaditerapkannya kebijakan tersebut, pabrik kelapa sawit (PKS) mengurangi pembelian tandan buah segar (TBS) dan menurunkan harga pembelian TBS sehingga petani sawit kesulitan menjual TBSnya.
Diketahui, kebijakan larangan ekspor ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 22 Tahun 2022 tentang Larangan Sementara Ekspor CPO, Refined, Bleached and Deodorized (RBD) Palm Oil, RBD Palm Olein, dan Used Cooking Oil. Dalam beleid itu, eksportir dilarang sementara melakukan ekspor minyak goreng beserta beberapa bahan bakunya.
Aturan yang berlaku mulai 28 April 2022 ini, akan dievaluasi secara periodik melalui rapat koordinasi di tingkat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian setiap bulan atau sewaktu-waktu bila diperlukan.
Menurut Tungkot, saat ini waktu yang tepat bagi pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan tersebut, sebab faktanya seluruh produsen TBS kesulitan menjual TBSnya. Apalagi selama Permendag No 22 Tahun 2022 tersebut diterapkan tidak terjadi penurunan harga minyak goreng secara signifikan.
“Artinya, pelarangan ekspor ini bukan cara yang tepat untuk membuat harga minyak goreng di dalam negeri murah. Bahkan, selama ada pelarangan ekspor, malah terjadi penyelundupan minyak goreng ke luar negeri. Jadi kebijakan ini tidak efektif," katanya.
Menurut diat, kebijakan yang efektif yakni distribusi minyak goreng subsidi yang sedang dilakukan Perum Bulog. Bulog turun tangan mendistribusikan minyak goreng dengan harga Rp14.000 per liter.
Anggota Dewan Pakar Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Wayan Supadno mengungkapkan pelarangan ekspor CPO dan minyak goreng berdampak serius kepada petani sawit.
Dia menjelaskan, total produksi CPO nasional pada 2021 sebanyak 52 juta ton, yang mana sekitar 34 juta ton (64 persen) diekspor, sedangkan yang 18 juta ton (36 persen) digunakan untuk kebutuhan dalam negeri baik untuk pangan, energi maupun oleochemical.
"Mengingat yang 34 juta ton tersebut tidak boleh diekspor, tentu CPO tersebut tidak punya pasar. Karena tidak punya pasar, PKS tidak mau memproduksi. Kalau PKS tidak berproduksi, maka wajar saja PKS tidak membeli TBS milik petani," katanya.
Akibatnya, di banyak daerah petani tidak memanen TBSnya sebab harganya sangat rendah, dampaknya TBS yang tidak dipanen tersebut akan menjadi berkembangbiaknya jamur yang merusak pohon sawit.
Wayan Supadno menceritakan sebelum ada pelarangan ekspor CPO dan minyak goreng, harga TBS di tingkat petani Rp3.800 per kg, namun saat ini oleh PKS dihargai Rp500 hingga Rp2.000 per kg.
Baca juga: Gapki dukung kebijakan larangan ekspor minyak goreng dan bahan baku
Baca juga: Larangan ekspor sawit mulai berdampak kepada petani
Baca juga: Menperin ungkap dampak larangan ekspor minyak goreng bagi industri
Pewarta: Subagyo
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2022