Bengkulu (ANTARA News) - Sore hari di Kota Bengkulu dari dalam kendaraan berkeliling kota, sampailah di satu bangunan lama berarsitektur masa kolonial Belanda peralihan art deco. Tiang bendera berdiri tegak dengan Sang Merah Putih berkibar di latar langit kelabu.... Lukisan diri Bung Karno seukuran tubuh aslinya hanya bisa diam membisu dalam pandangan mantap berwibawa, menjadi latar berfoto bagi remaja-remaja itu...
Ada satu penanda yang membuat rumah batu dengan verdeeping kain belang putih dan merah itu berbeda. Plakat pemugaran bangunan cagar budaya itu memberi peringatan kepada semua saja yang hadir: itulah Rumah Pengasingan Bung Karno di Bengkulu pada kurun masa 1938-1942.
Sebagai aktivis inti pergerakan politik Hindia Belanda pada masanya, Soekarno (kelahiran 1 Juni 1901) masih merupakan anak muda penuh gairah dan kegeraman atas penjajahan Belanda di Tanah Airnya. Dia sangat getol menyuarakan kemerdekaan Asia Timur terutama Hindia Belanda (kini Indonesia sejak 17 Agustus 1945), sampai akhirnya dia dianggap warga yang sangat membahayakan kewibawaan dan kelanggengan kolonialiasi di Hindia Belanda.
Dia ditangkap dan dibuang ke Bengkulu, yang masa itu menjadi "neraka" bagi para tahanan politik. Jangan bayangkan Bengkulu seperti sekarang, karena ribuan tentara VOC, India East Company-nya Inggris sampai tentara Jepang pada Perang Dunia Kedua mati sia-sia akibat serangan malaria. Bengkulu saat itu adalah negerinya malaria yang mematikan itu dan di situlah Bung Karno ditempatkan.
Untuk membungkam aspirasi dan semangat Bung Karno, dipilihlah satu rumah cukup terisoliasi pada masa itu. Rumah itu semula milik seorang China, bernama Tan Eng Cian, seorang pengusaha penyuplai bahan pokok bagi keperluan Belanda. Rumah berkelir putih bersih dengan halaman luas itu berukuran bangunan ratusan meter persegi terdiri dari empat kamar, satu ruang tamu, beranda depan luas, dan beranda belakang yang lebih luas lagi.
Beranda belakang dilengkapi dengan satu sumur sedalam sekitar tujuh atau delapan meter. Masih ada satu paviliun tersusun dari empat ruang kecil-kecil, mungkin untuk para pembantu dan tukang kebun rumah milik taipan penting di Bengkulu masa itu. Kini di samping sumur itu dipasang plakat kayu tentang "khasiat" air sumur itu jika pengunjung membasuh mukanya dengan air yang dipastikan sejuk itu.
Di dalam rumah yang tinggi dindingnya sekitar empat meter dengan pintu-pintu dan teralis besi padat membentuk ukiran indah itu tersimpan berbagai memorabilia terkait kehadiran Bung Karno. Undang-undang Cagar Budaya menjamin semua yang ada dalam dan sekitar rumah itu agar tetap pada kondisi awalnya. Benarkah begitu?
Sejarah membuktikan, ternyata Bung Karno ternyata tidak mati secara jiwa dan semangat atas kecintaannya pada Tanah Air. Beberapa literatur dan kesaksian orang-orang tua yang pernah bersua dan berinteraksi langsung dengan si "Bung" itu, Bung Karno bahkan sangat populer di sana. Dia memberi pencerahan intelektual, spiritual, dan lain-lain kepada semua warga di sana.
Saat itu, siapa yang tidak kenal pemudi Bengkulu bernama Fatmawati? Sosok jelita dengan paras wajah sangat khas dan rambut hitam legam serta pribadi memikat itu menyandera Bung Karno hingga kemudian dia menjadi Ibu Negara pada masa kemerdekaan Indonesia. Dari pasangan Soekarno-Fatmawati itu juga lahir Megawati Soekarnoputri, perempuan presiden pertama Indonesia, juga Guruh Soekarnoputra, seniman kondang nasional.
Kembali kepada memorabilia dan benda-benda bersejarah si "Bung" di Jalan Soekarno-Hatta, Kelurahan Anggut, Kecamatan Gading Cempaka, Kota Bengkulu, itu. Satu ruangan di sayap kanan bangunan itu berisi tiga rak buku yang dinyatakan menjadi bahan bacaan dia selama masa pengasingan itu. Banyak sekali buku-buku tebal dan berbahasa Inggris, Belanda, dan Perancis serta beberapa bahasa lain, termasuk buku-buku sastra yang mengisinya.
Gembok kaca di masing-masing rak buku itu seolah menyampaikan pesan agar isinya jangan diganggu. Memang, tangan manusia tidak mudah mengganggu buku-buku yang turut menyumbang perjalanan bangsa ini. Bagaimana halnya dengan gangguan cuaca, bakteri penghancur kertas, serangga, debu, kelembaban tinggi udara, dan lain-lain? Merekalah yang menghancurkan warisan sejarah bangsa ini.
Buku-buku itu hanya satu contoh saja, belum lagi sepeda tua buatan Inggris yang ada di ruang tamu bagian samping bangunan beratap genteng tanah itu. Ban-bannya kempis, kulit sadelnya terkelupas secara menyedihkan, banyak bagian dari sepeda itu yang terserang karat, dan lain sebagainya.
Pintu-pintu ruangan terbuka. Banyak pengunjung hilir-mudik di dalamnya sementara sekelompok remaja putri asik berfoto ria dengan gaya khas masing-masing di tiang bendera, juga anak bayi yang menangis meminta air minum dari ibunya di beranda depan. Sentuhan tangan penjaga dan petugas khusus pelestari warisan sangat berharga bangsa itu… tiada hadir.
Lukisan diri Bung Karno seukuran tubuh aslinya hanya bisa diam membisu dalam pandangan mantap berwibawa, menjadi latar berfoto bagi remaja-remaja itu. (ANT)
Oleh Ade P Marboen
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2011