Visi Indonesia Maju dalam US-ASEAN

18 Mei 2022 10:59 WIB
Visi Indonesia Maju dalam US-ASEAN
Arsif foto - Presiden RI Joko Widodo dalam pertemuan para pemimpin negara-negara ASEAN dengan Wakil Presiden AS Kamala Harris di Departemen Luar Negeri AS, Washington DC, Jumat (13/5) waktu setempat. ANTARA/HO-Biro Pers Sekretariat Presiden/Laily Rachev

Di tengah konflik Rusia-Ukraina, perhatian dunia sedikit teralihkan oleh kemunculan komitmen Amerika Serikat terhadap ASEAN. Dalam forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) US-ASEAN pekan lalu. Menyusul Presidensi Indonesia pada G20, KTT ini sangat penting bagi Indonesia. Tidak hanya secara ekonomi, tetapi peran politik Indonesia di kawasan Asia Tenggara.

Kuatnya gema US-ASEAN ini semakin menemukan momentum-nya di tengah menguat-nya pengaruh ekonomi China di kawasan. Secara geopolitik, negara-negara ASEAN tidak menginginkan terjebak dalam situasi terpaksa untuk memilih antara Amerika Serikat dan China. Negara-negara ASEAN memiliki kewaspadaan tinggi terhadap implikasi yang ditimbulkan oleh hubungan AS dengan China. Negara-negara ASEAN cenderung menginginkan AS terlibat dan hadir di Asia Tenggara untuk menyeimbangkan pengaruh China di kawasan Indo-Pasifik.

Negara-negara ASEAN bersepakat untuk membangun -meminjam istilah Marty Natalegawa- keseimbangan dinamis di kawasan sehingga kehadiran kekuatan sejumlah negara lain, disamping AS dan China, seperti Jepang, India dan Australia dibutuhkan untuk menciptakan keseimbangan dinamis itu.

ASEAN telah dipandang sebagai wadah strategis dalam blok bangunan regionalisme Indo-Pasifik. Posisi geografis negara-negara ASEAN, yang sebagian besar tropis, potensi sumberdaya alam yang besar, dan hutan yang luas adalah alasan lain mengapa ASEAN selalu dianggap sebagai kawasan yang menarik untuk dikembangkan berbagai platform global. Bahkan AS menegaskan ASEAN sebagai sentral di kawasan Indo-Pasifik dalam KTT US-ASEAN ini.

Dalam konteks itu, Indonesia, sebagai negara terbesar ASEAN, dituntut untuk mampu memainkan peran strategis-nya, terutama pada tiga lingkungan strategis di kawasan.

Pertama, konflik Laut China Selatan. Beijing mengklaim hingga 90 persen perairan yang disengketakan berdasarkan sejarah sembilan garis putus-putus, tetapi pada 2016 Pengadilan Arbitrase Internasional memutuskan bahwa China tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim hak bersejarah atas sumber daya laut. Brunei, Malaysia, Filipina dan Vietnam mengklaim bagian laut yang tumpang tindih dengan klaim China dan memprotesnya.

AS telah mengkritik China karena telah melanggar hukum internasional, melakukan intimidasi serta memaksa negara Asia Tenggara yang terlibat. Ujungnya, militer dari kedua negara AS dan China hadir di perairan Laut China Selatan.

Meski Indonesia tidak banyak dirugikan dalam kasus ini, potensi ancaman besar di kepulauan Natuna sangat mungkin pecah di masa yang akan datang. Menguat-nya kemitraan US-ASEAN ini adalah kesempatan untuk memperkuat keseimbangan di kawasan Laut China Selatan. Inilah saatnya Indonesia memperkuat posisinya di ASEAN untuk meminimalisasi konflik bersenjata.

Dalam berbagai kerja sama yang merespon Laut China Selatan, Beijing selalu menyatakan "mental perang dingin" terhadap AS. Namun, yang lebih penting dari itu, adalah mempertahankan kebebasan penuh navigasi untuk semua orang di Laut Cina Selatan sebagai prioritas. Tidak hanya untuk negara penuntut tetapi juga untuk masyarakat internasional. Mengingat volume perdagangan internasional mengalir melalui perairan.

Kedua, mengembalikan kekuasaan junta militer di Myanmar kepada pemerintahan sipil. Setelah militer merebut kekuasaan pada Februari 2021, ASEAN mengundang panglima militer Myanmar di Jakarta dan menghasilkan “five point consensus.” Sayangnya, tidak ada pihak oposisi yang diajak berkonsultasi sebelum atau selama pertemuan, sehingga menimbulkan kesan bahwa ASEAN memberikan legitimasi kepada junta.

Oposisi Myanmar tidak menerima konsensus tersebut. Kini kelompok oposisi telah berubah menjadi kelompok perlawanan bersenjata. Ini terjadi karena rezim junta telah melakukan banyak pelanggaran HAM berat, membunuh para demonstran, membakar desa dan tindak pelanggaran lainnya.

Konflik yang belum terlihat ujungnya ini berpotensi besar menjadikan Myanmar sebagai negara proksi. Dalam jangka panjang, stabilitas di negara-negara ASEAN dapat terganggu. Lebih dari itu, perdamaian di Myanmar adalah prioritas utama yang perlu diperjuangkan oleh Indonesia. Meskipun, negara-negara ASEAN terbelah dalam menyikapi kudeta militer Myanmar.

Ketiga, perubahan iklim. Tantangan iklim di Asia Tenggara sangat nyata. Sebagian besar wilayah negara-negara ASEAN adalah maritim yang sangat rentan terhadap kenaikan permukaan laut, cuaca ekstrem, asap dari kebakaran yang melintasi batas negara, dan ketahanan pangan.

Semua kondisi ini berpotensi memiliki dampak signifikan terhadap migrasi. Kenaikan permukaan laut akan meningkatkan evakuasi dari wilayah dataran rendah yang akan meningkatkan kepadatan populasi di wilayah lain. Faktor-faktor perubahan iklim lain yang akan mempengaruhi migrasi adalah perubahan aliran sungai, kurangnya air untuk pertanian dan meningkatnya suhu di daerah pedesaan (WRI: 2017).

Dalam pernyataan bersama US-ASEAN berjanji untuk mengatasi perubahan iklim, termasuk dengan memfasilitasi pengembangan energi terbarukan serta menerapkan teknologi energi rendah karbon. Ada peluang pasar bagi perusahaan AS di ASEAN, termasuk mengekspor solusi energi rendah karbon atau berinvestasi di infrastruktur seperti surya, angin, dan hidrogen.

Indonesia adalah negara dengan potensi sumber daya alam yang melimpah dan hutan yang paling luas di Asia Tenggara. Demikian halnya dengan potensi energi terbarukan, seperti matahari sepanjang tahun, pantai, angin dan panas bumi. Adalah peluang bagi Indonesia untuk membangun kepemimpinan dalam mencapai target net zero, baik dari sisi investasi, teknologi dan pengembangan kebijakan.

Pada akhirnya, Indonesia sebagai negara senior di kawasan ASEAN diharapkan untuk terus membangun kepemimpinan, menciptakan iklim perdamaian, dan menjaga stabilitas. Visi Indonesia maju dalam konteks ini menemukan momentum-momentum penting yang sayang sekali untuk dilewatkan. Dalam US-ASEAN, Indonesia memperoleh keuntungan ekonomi dari kerja sama ini.

Namun, lebih dari itu, sebagai bangsa adalah kebanggaan jika dapat menunjukkan jati diri yang bermartabat dan berwibawa di tengah bangsa-bangsa lain.

*) Ngasiman Djoyonegoro adalah Pengamat Intelijen

Pewarta: Ngasiman Djoyonegoro *)
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2022