“Dua tahun dalam penantian, mencoba untuk tidak berpindah media. Awalnya tergoda untuk pindah platform, di online segala macam. Tapi kami tetap bersiteguh bahwa ini bukan (seolah-olah) 'Waiting for Godot', suatu saat ini pasti akan datang,” kata sutradara pementasan Wawan Sofwan saat konferensi pers di Jakarta, Kamis (19/5) malam.
Sebelumnya, Titimangsa Foundation sempat mementaskan Monolog Inggit sebanyak 13 kali pada periode 2011 hingga 2014 di Jakarta dan Bandung. Pada pementasan kali ini, Titimangsa kembali menghadirkan “Monolog Inggit” secara berbeda dari sebelumnya dalam bentuk teater musikal.
Musikal monolog “Inggit Garnasih” menandai produksi ke-53 Titimangsa yang diproduseri oleh Happy Salma. Ia mengatakan produksi ke-53 ini menjadi bukti kesungguhan dirinya menjadi produser seni pertunjukan.
Baca juga: Deva Mahenra debut peran panggung di monolog "Di Tepi Sejarah"
Menyatukan kembali energi di antara pelaku-pelaku seni yang terlibat menjadi tantangan tersendiri bagi Happy dalam mewujudkan pentas teater secara langsung mengingat dua tahun pandemi membuat orang terbiasa menonton secara gratis dan daring. Walau begitu, Happy mengatakan pihaknya tetap percaya energi untuk menonton pentas secara langsung tidak akan tergantikan.
“Dan saya percaya, ini memang ceritanya sama (dari pentas sebelumnya) karena sumbernya juga sama dari bukunya Ramadhan KH, tetapi gairah dalam bentuk pertunjukan pasti akan selalu berbeda,” kata Happy.
Untuk mewujudkan pentas, Titimangsa Foundation bekerja sama dengan Bakti Budaya Djarum Foundation dan Sleepbuddy. Selain Happy dan Wawan yang terlibat, ada pula Marsha Timothy yang menjadi co-produser.
Pentas juga menghadirkan arahan musikal dari Dian HP sebagai komposer, Avip Priatna sebagai konduktor, dan diiringi lantunan musik Jakarta Concert Orchestra serta suara dari Batavia Madrigal Singers.
Ditulis oleh Ratna Ayu Budhiarti yang terinsipirasi dari roman “Kuantar Ke Gerbang” karya Ramadhan KH, musikal monolog menyuguhkan cerita Inggit Garnasih yang kala itu mendampingi perjalanan Soekarno sebelum menjadi Presiden Pertama Indonesia.
Sebagai istri kedua yang bertahan dalam 20 tahun pernikahan, Inggit setia mengantar Bung Karno mulai dari mendampinginya lulus dari sekolah Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB); mendukung ekonomi keluarga saat Bung Karno memulai pergerakan di organisasi; hingga mendampingi Bung Karno dalam pengasingan di Ende dan Bengkulu.
Inggit memilih mempertahankan martabatnya sebagai perempuan dan menolak dimadu ketika Soekarno menyatakan ingin menikah lagi. Meski Inggit dijanjikan menjadi istri utama, ia memilih mengatakan tidak kepada Bung Karno.
Ratna, selaku penulis naskah, mengatakan bahwa penulisan naskah monolog Inggit dimulai sejak 2017 setelah berbincang bersama Wawan dan dan Happy.
“Saya berupaya menghadirkan kembali petikan-petikan peristiwa dalam kehidupan Inggit selama mendampingi Soekarno, dimulai dari sejengkal jarak yang mendekatkan, diakhiri pula sejengkal jarak yang menjauhkan. Namun Inggit tetap tegak setelah dihantam ombak,” kata Ratna.
Pementasan juga dilengkapi dengan kehadiran para pemeran pendukung, seperti Ati Sriati sebagai Ibu Amsi, Jessica Januar sebagai Ratna Djuami, dan Desak Putu Pandara Btari Patavika sebagai Kartika.
Pameran lukisan “Merekam Inggit” juga turut dihadirkan beriringan dengan pementasan, buah karya Wardhana yang dikuratori oleh Agus Noor. Lukisan-lukisan dibuat sebagai respon dari pementasan dan dilelang, hasilnya akan didistribusikan sebagai bentuk partisipasi untuk mewujudkan Museum Inggit.
Pameran dibuka untuk umum mulai Kamis. Pada Jumat (20/5) dan Sabtu (21/5) pameran dibuka pada pukul 12.00 hingga 17.00 WIB. Ada pula artist talk terkait pameran lukisan pada Sabtu (21/5) pukul 13.00 WIB. Sementara periode lelang diadakan mulai 19 hingga 31 Mei 2022.
Baca juga: Episode ketiga "Di Tepi Sejarah" hadirkan kisah hidup Gombloh
Baca juga: "My Neighbor Totoro" diadaptasi dalam pertunjukan teater musikal
Baca juga: Mengenal Kassian Chepas, tokoh dalam "Di Tepi Sejarah" musim kedua
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2022