"Dalam Pasal 218, kami memberikan penjelasan bahwa ini adalah perubahan dari delik yang bersifat aduan, yang sebelumnya delik biasa," kata Edward dalam rapat dengar pendapat di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu.
Rapat dengar pendapat antara Kemenkumham dan Komisi III DPR itu merupakan tindak lanjut pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Edward menambahkan Pemerintah sama sekali tidak membangkitkan pasal yang sudah dimatikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
"Ini justru berbeda dan kami menambahkan pengaduan dilakukan secara tertulis oleh presiden atau wakil presiden," jelasnya.
Baca juga: Pakar sebut RUU KUHP jadi payung hukum keadilan restoratif
Dalam pasal itu juga diberikan pengecualian untuk tidak dituntut apabila menyangkut kepentingan umum.
Dia menjelaskan Pemerintah telah melakukan sosialisasi RUU KUHP di 2021, dimana hasilnya ialah Pemerintah melakukan penyempurnaan dengan melakukan reformulasi dan memberikan penjelasan terhadap pasal-pasal kontroversi, berdasarkan masukan dari berbagai unsur masyarakat dan K/L.
Sebelumnya, Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 pernah membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam KUHP. Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis. MK menilai Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi.
Baca juga: Wamenkumham sebut hukuman mati merupakan 'special punishment'
Baca juga: Kemenkumham: RKUHP masih atur pidana ancaman hukuman mati
Pewarta: Fauzi
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2022