Banda Aceh (ANTARA News) - Di penghujung 2011, masyarakat dan aktivis lingkungan kembali menyuarakan keprihatinan dan kekecewaan mereka terhadap pengelolaan lingkungan hidup di Provinsi Aceh.Kalau hutan gambut Rawa Tripa dibabat dan dijadikan perkebunan sawit, maka populasi orang utan dipastikan tidak ada lagi beberapa tahun mendatang,"
Isu-isu lingkungan hidup yang ikut meramaikan wajah media massa di Aceh dalam sepekan terakhir, yakni kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit terutama di Kabupaten Nagan Raya.
Riak kecil isu lingkungan itu muncul di punghujung tahun 2011, menyusul pemberian izin Hak Guna Usaha (HGU) dari Pemerintah Aceh kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Nagan Raya.
Sebut saja, PT Kalista Alam yang mengantongi izin HGU dari Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, dengan luas areal perkebunan untuk tanaman kelapa sawit seluas 1.605 hektare di kawasan Rawa Tripa, Nagan Raya.
Pemberian izin HGU itu akhirnya memicu protes dari berbagai kalangan, terutama aktivis lingkungan di provinsi ujung paling barat Indonesia tersebut.
Protes itu karena ada kekhawatiran ancaman kerusakan lingkungan dan punahnya habitat satwa dilindungi terutama orang utan sebagai penghuni tertua di Rawa Tripa.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) TM Zulfikarmenyatakan populasi Orang Utan Sumatera (Pongo Abelii) di kawasan hutan gambut Rawa Tripa kini terancam punah.
"Populasi Orang Utan di hutan gambut Rawa Tripa terancam punah. Setiap tahun jumlahnya menurun drastis dan kini tinggal sekitar 280 ekor dari tercatat 6.000 ekor data 1999," katanya.
Menurut dia, berkurangnya populasi binatang dilindungi itu terjadi karena konsesi lahan dari areal hutan menjadi kawasan perkebunan sawit milik perusahaan-perusahaan besar.
"Kalau hutan gambut Rawa Tripa dibabat dan dijadikan perkebunan sawit, maka populasi orang utan dipastikan tidak ada lagi beberapa tahun mendatang," ungkap TM Zulfikar.
Luas hutan gambut Rawa Tripa mencapai 61,8 ribu hektare. Hutan gambut Rawa Tripa tersebut masuk Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).
Dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang, kata dia, menetapkan bahwa KEL sebagai kawasan strategis nasional dari sisi kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.
Secara ekologis, lanjut dia, pengalihan hutan gambut tersebut menjadi bencana alam, seperti tsunami dan banjir. Hutan ini juga menjadi tempat cadangan karbon dengan kapasitas mencapai 4,048 ton.
"Namun, hampir 40 persen atau sekitar 20 ribu hektare luas hutan gambut Rawa Tripa, kini beralih fungsi menjadi perkebunan sawit," papar T Muhammad Zulfikar.
Selain itu, sebut dia, 60 persen hutan gambut yang belum beralih fungsi tersebut itu juga terancam rusak karena adanya pengerukan kanal air yang dilakukan perusahaan perkebunan sawit.
"Kanal-kanal itu akan menguras air dari areal hutan yang tidak masuk lahan perkebunan sawit, sehingga hayati di dalamnya dengan sendirinya mati," kata TM Zulfikar.
Manajer Ekosistem Sigom Aceh, Heri Fitriadi juga menyebutkan pemberian izin untuk areal perkebunan kelapa sawit di kawasan Rawa Tripa akan berdampak hilangnya mata pencarian penduduk di wilayah itu.
"Punahnya satwa dilindungi dan hilangnya mata pencaharian penduduk di kawasan itu juga sebagai penyebab alih fungsi lahan hutan gambut ke areal perkebunan kelapa sawit di Rawa Tripa," kata manejer sebuah LSM di Nagan Raya itu.
Sebab, katanya selain orang utan, di kawasan ekosistem Leuser Rawa Tripa itu telah dijadikan sebagai habitat satwa dilindungi lainnya seperti mawas, kera ekor panjang, dan puluhan jenis burung serta harimau dan gajah.
"Artinya tidak mustahil jika kawasan itu kemudian dijadikan areal perkebunan sawit maka habitat yang ada didalamnya akan punah. Itu menjadi ancaman serius di masa mendatang," katanya menambahkan.
Mata pencaharian
Selain itu, keberadaan kawasan ekosistem Leuser Rawa Tripa tersebut sebagai lokasi mata pencaharian tetap bagi penduduk di sejumlah desa seperti Sumber Bhakti, Markati Jaya, Sumber Makmur, Pulau Kruet, Alue Kuyun dan Kuala Seumayam.
"Bertahun-tahun kawasan itu sebagai ladang mata pencaharian masyarakat untuk bertahan hidup dan melanjutkan pendidikan bagi anak-anak mereka dengan mencari ikan, rotan, madu, lokan dan lainnya. Artinya, kalau areal kebun sawit dibuka maka secara otomatis mata pencaharian penduduk akan hilang," kata dia.
Konflik satwa dengan manusia jelas tidak bisa terhindari jika habitat binatang itu terusik karena dijadikan sebagai areal perkebunan untuk melindungi pengusaha besar yang akan menanamkan investasinya di kawasan Rawa Tripa tersebut, ujarnya menambahkan.
Meski yang tidak bisa dipungkiri, Heri menyebutkan dampak besar akibat pemberian hak guna usaha (HGU) untuk perkebunan kelapa sawit adalah rusaknya ekosistem lingkungan hidup.
Selain itu, ia juga menjelaskan ada keresahan masyarakat di kawasan tersebut selama ini karena salah satu perusahaan perkebunan sawit memperketat setiap warga yang ingin mencari nafkah di wilayah tersebut.
"Masyarakat yang akan melintasi kawasan perkebunan kelapa sawit, harus melapor dan meninggalkan KTP kepada petugas salah satu perusahaan. Padahal, kawasan itu sudah berpuluh-puluh tahun milik adat warga sekitar," kata dia menjelaskan.
Untuk itu, Heri mengharapkan Pemerintah Aceh segera mempertimbangkan kembali pemberian izin HGU terhadap perusahaan perkebunan kelapa sawit di kawasan ekosistem Leuser Rawa Tripa, Nagan Raya tersebut
Namun, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menyatakan bahwa izin HGU perkebunan seluas 1.605 hektare milik PT Kalista Alam di kawasan Rawa Tripa Nagan Raya itu sesuai prosedur hukum.
Menurutnya, izin HGU di kawasan Rawa Tripa dikeluarkan setelah adanya pembahasan selama 1,5 tahun. Perusahaan telah melengkapi semua persyaratan, termasuk juga surat keterangan dari Polda Aceh bahwa usaha dan tanah yang digunakan tidak bertentangan dengan hukum.
Kendati demikian, gubernur menyatakan pihaknya juga sudah mengutus tim untuk melihat dan meninjau kembali HGU PT Kalista Alam, jika ada masalah maka bisa ditinjau ulang.
Sementara itu, anggota DPRA fraksi Partai Aceh Abdullah Saleh, menyatakan pihaknya mendukung sepenuhnya kepolisian untuk mengungkap kasus dan indikasi pidana dalam izin usaha perkebunan budidaya di KEL Rawa Tripa, Nagan Raya.
"Kami dukung Polda Aceh untuk melakukan gelar perkara dan penyelidikan dugaan penyimpangan dalam penerbitan izin HGU itu," katanya.
Tokoh masyarakat pantai barat dan selatan Aceh, Adnan NS mempertanyakan komitmen Pemerintah Aceh dalam mewujudkan visi Aceh hijau, karena disatu sisi adanya "moratorium logging" namun disisi lain pengalihan fungsi hutan ke perusahaan perkebunan.
Mantan anggota DPD RI itu menambahkan, upaya pengalihan lahan gambut kawasan Rawa Tripa ke perusahaan perkebunan tersebut sangat mengkhawatirkan tidak hanya keselamatan satwa dan mata pencaharian penduduk, tapi juga kerusakan ekosistem.
Tidak hanya itu, katanya konflik sosial dan konflik antara satwa dengan manusia dikhawatirkan terjadi dimasa mendatang jika pemerintah tidak hati-hati dalam pemberian izin bagi perusahaan perkebunan.
Lihat saja kasus Mesuji. Seharusnya apa yang telah terjadi di wilayah lain hendaknya menjadi pelajaran ketika mengeluarkan izin HGU) untuk perusahaan perkebunan dan pertambangan.
Perlu juga dipikirkan bagaimana kelanjutan masa depan kehidupan satwa langka seperti orang utan. Hutan yang selama ini tempat damai bagi satwa namun terusik karena manusia dengan dalih investasi.
Akhirnya dimana lagi satwa itu harus mencari "rumah baru" atau anak cucu manusia di masa mendatang hanya bisa mengenali orang utan lewat gambar karena wujudnya sudah punah.(*)
Pewarta: Azhari
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011