Ketua Civil 20 (C20) Sugeng Bahagijo memaparkan ciri multilateralisme yang responsif dan inklusif sebagai harapan dari G20 yang saat ini presidensinya dipegang oleh Indonesia.
“Saya kira hanya dengan demokrasi lah multilaterlisme yang responsif dan inklusif bisa menjadi harapan kita semua. Sayangnya, multilateralisme masih memiliki kelemahan-kelemahan atau defisit-defisit yang harus segera diatasi,” kata Sugeng dalam Bali Democracy Forum (BDF) 2022 yang bertajuk “Intersession Bali Civil Society and Media Forum (BCSMF) with Civil Society Organizations” digelar secara daring di Jakarta, Senin.
Untuk itu, dia mengusulkan ciri khas multilaterlisme yang inklusif dan responsif. Pertama, multilateralisme harus berfokus pada isu-isu yang selama ini terpinggirkan.
“Bagaimana, kalau dalam bahasa SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan), multilateralisme itu mendukung agar tata ekonomi, kerja sama ekonomi hanya sebagai sarana bukan sebagai tujuan karena tujuannya untuk membela atau mendukung, memfasilitasi, menciptakan lingkungan yang memungkinkan lebih banyak orang tidak tertinggal, no one left behind,” katanya.
Sugeng mengatakan ciri kedua, yakni harus bisa menghormati keragaman masing-masing ekonomi, contohnya ekonomi pasar yang terkoordinasi ala Eropa atau ekonomi pasar liberal ala Anglo-Saxon.
“Semuanya itu mestilah dianggap sebagai diversity (keragaman) yang diperlukan,” ujarnya.
Ketiga, yakni multilaterlisme yang memberikan kesempatan banyak pihak dalam proses pembuatan keputusan.
“Multilaterlisme yang legitimate yang diputuskan banyak pihak, seperti pada pidato Menlu bahwa G20 harus bisa bermanfaat bagi semua, baik yang di Selatan maupun Utara, Timur maupun Barat,” katanya.
Menurut Sugeng, selama ini multilateralisme cenderung hanya melibatkan sedikit suara, sehingga banyak suara yang tidak masuk dan tidak hadir dalam pertimbangan keputusan besar.
Dia mengambil contoh multilateralisme yang responsif dan inklusif yang bisa diterapkan dalam G20, yakni menurunkan remitansi pekerja migran dari di level 12 persen menjadi enam persen.
Selain itu, lanjut dia, bagaimana jaminan sosial dari pemerintah bisa dirasakan pekerja migran Indonesia di luar negeri.
“Tentu tidak bisa hanya Indonesia sendiri yang memutuskan, harus ada kesepakatan antara negara kita dengan negara-negara yang menerima migran kita. Itu akan sangat baik jika dipayungi oleh kesepakatan G20,” katanya.
Ciri terakhir, menurut Sugeng, adalah multilateralisme yang bisa mengendalikan krisis global.
“Itu yang disebut systemic coherence, sehingga seperti pandemi ini yang memerlukan tindakan kolektif baik dari negara maju, berkembang, negara anggota G20 atau lainnya untuk bisa mengendalikan, mengurangi, meminimalkan krisis ini,” katanya.
Baca juga: C20 tuntut G20 bangun mekanisme kebijakan kuat untuk kekerasan gender
Baca juga: Tuntutan masyarakat sipil dunia kepada pemimpin G20
Baca juga: C20 serukan G20 dorong perubahan arsitektur pajak dunia
Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2022