Pemilik museum seni rupa, "Museum OHD" Magelang, dokter Oei Hong Djien berdiri di seberang jalan, menyaksikan para perupa menggarap dinding toko buku di pusat perbelanjaan setempat dengan seni grafiti dan mural berjudul "Ayo Rukun".... Karena semangat hidup rukun itu memang Indonesia banget...
Ketua Dewan Kesenian Magelang, Muhammad Nafi, salah satu di antara beberapa orang yang menemani Oei Hong Djien (OHD) menonton para perupa jalanan hadir di tempat itu dalam beberapa gelombang untuk menorehkan karya bersama itu.
Dalam dekapan hawa hangat Matahari, mereka berbincang dengan asyik tentang dunia seni rupa kontemporer. Mereka juga menyerap cerita OHD tentang sejarah seni grafiti dan mural dunia pada abad ke-20 hingga saat ini. Ragam seni rupa itu memancarkan pesan-pesan aktual yang makin berterima publik.
Aparatur pemerintah tak lagi menganggap seni grafiti dan mural sebagai pembikin kumuh ruang publik dan mencemari keelokan kota, sehingga mereka tak lagi menjadikan sasaran razia dan pelarangan.
Di tembok samping toko buku seluas sekitar 40x10 meter persegi di Jalan Pajajaran, Magelang, Jawa Tengah pada Minggu (22/5), antara lain perupa Taufik membuat 16 tulisan besar "Rukun" dalam posisi bertumpuk dua kolom, sedangkan Subki asyik dengan mural kelingking kanan Gatotkaca dan kelingking kiri Superman bertaut sebagai simbol rukun.
Para perupa lain yang menjadi bagian dari sejumlah komunitas street art (seni jalanan) setempat membuat karya, berupa sejumlah sosok dengan karakter masing-masing yang berdiri secara berjajar. Mungkin pesan yang hendak diunggah bahwa semua manusia memiliki martabat sama sehingga harus hidup rukun.
Pelukis I Made Arya Dwita Dedok dengan karyanya "Manusia Pohon" seakan hendak menyatakan pentingnya pergulatan yang harmonis manusia dengan alam, sedangkan Katri Andriyanto dengan karyanya berupa sosok mengenakan iket dan kaos warna kuning bertuliskan "Judeg Rukun".
Karya itu nampak kocak dan mengelitik, menghadirkan kritik sosial tentang betapa tak mudah mewujudkan hidup rukun. "Judek" ungkapan orang Jawa menghadapi persoalan rumit yang harus dirampungkan.
Seketika membaca tulisan itu, Oei Hong Djien bercekakakan karena teringat warung gudeg bernama "Gudeg Rukun" di tepi jalan Kampung Kiringan, Kelurahan Tidar Utara, Kecamatan Magelang Selatan, Kota Magelang.
Gudeg memang kondang sebagai kuliner Yogyakarta, akan tetapi OHD mendaku gudeg dari warung "Gudeg Rukun" Kota Magelang memiliki cita rasa khas. Posisi geografi Magelang, Provinsi Jawa Tengah berdampingan dengan Yogyakarta. Nama warung itu kelihatan menginspirasi seniman Katri untuk nama karya muralnya menjadi "Judeg Rukun".
Pesan aktual 28 perupa Magelang melalui grafiti-mural "Ayo Rukun" diapresiasi sebagai berkelindan dengan kepentingan bersama menghadapi tantangan hidup dalam adaptasi kebiasaan baru pascapandemi dan usaha mewujudkan kemajuan nilai-nilai kehidupan masa mendatang.
"Rukun itu salah satu modal penting untuk kemajuan kita," ucap OHD yang juga salah satu kolektor papan atas jagat seni rupa Indonesia.
Ia juga menyampaikan rencana pameran seni rupa tentang Buya Ahmad Syafii Maarif dan Kiai Haji Mustofa Bisri, di museumnya pada Juli mendatang dengan judul "Mata Air Bangsa".
Kedua guru bangsa itu rencananya diundang hadir bersama sejumlah tokoh dan pemuka lainnya dalam pameran di museumnya, yang pembukaannya diamanatkan kepada Uskup Agung Semarang Monsinyur Robertus Rubiyatmoko.
Meskipun OHD dan timnya mau tidak mau harus memikirkan ulang rencana itu karena Buya Syafii mangkat pada Jumat (27/5), gagasan atas pameran "Mata Air Bangsa" terlihat mengalirkan semangat rukun seluruh komponen bangsa untuk terus-menerus menjaga, mengeksploarasi, dan menghadirkan nilai itu sebagai kekuatan Indonesia menjalani sejarah masa depannya.
Semangat hidup rukun bagian kental nilai-nilai Pancasila yang diperingati hari kelahirannya setiap 1 Juni. Hari Lahir Pancasila bersumber dari pidato Soekarno pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 1 Juni 1945.
Dalam pidato itu, Bung Karno antara lain mengulas tentang gotong royong yang turun-temurun menjiwai bangsa.
Dalam jiwa itu terkandung kehendak dan kekuatan hidup rukun manusia Indonesia. Setiap orang Indonesia memiliki kelekatan dengan jiwa gotong royong.
"Nurani setiap orang Indonesia terusik kalau ia tak ikut gotong royong. Ikut gotong royong menjadikan setiap orang hadir dengan semangat rukun," ucap Nafi yang juga pegiat sosial budaya Kota Magelang.
Wajah rukun diakui dia sering kali tak mudah dihadirkan, karena relasi hidup bersama kemasyarakatan selalu diwarnai macam-macam ketegangan. Hidup memang tidak selalu baik-baik saja, selalu ada ketegangan.
Karya grafiti-mural "Ayo Rukun" menjadi simbol pentingnya ketegangan-ketegangan dikelola secara cerdas, bijaksana, dan inspiratif sehingga menjadi dorongan pencapaian kemajuan hidup bersama.
"Kita semua perlu menemukan momentum sebagai wahana titik temu dari ketegangan-ketegangan yang muncul dalam dinamika masyarakat," ucapnya.
Semangat rukun sebagai bagian dari nilai Pancasila sesungguhnya dengan mudah selalu ditemukan dalam hidup manusia Indonesia dengan turun-temurun pewarisnya.
Catatan Nafi tentang popularitas tembang "Ayo Rukun Bersatu", karya seorang pegiat keberagaman di Magelang, Dionisius Martomo (1944-2021), salah satu contoh penting betapa spirit rukun menjadikan hidup penuh tantangan dan ketegangan ini enteng dilakoni.
"Ayo rukun, rukun, rukun bersatu. Ayo rukun, rukun, rukun bersatu. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Ayo rukun, rukun, rukun bersatu," demikian refrain lagu itu yang juga bisa ditemukan di sejumlah kanal Youtube.
Dalam berbagai ajang di daerah setempat yang kental dengan semangat pluralisme, lagu tersebut dilantunkan sehingga populer.
Setiap orang yang ikut menembangkan ataupun sekadar menyimak lantunan lagu itu, seakan dibawaserta mengungkapkan semangat rukun, sebagai ejawantah nilai-nilai Pancasila.
Karena semangat hidup rukun itu memang Indonesia banget.
Pewarta: M. Hari Atmoko
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2022