"Pemikiran geopolitik Soekarno ini sangat relevan untuk menggelorakan kembali semangat kepemimpinan Indonesia bagi dunia. Suatu kehormatan juga bagi saya, di sinilah pertahanan dalam perspektif yang luas, ternyata oleh para pendiri bangsa itu melibatkan seluruh komponen rakyat Indonesia di dalam Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata)," jelas Hasto, di sela-sela gladi resik sidang terbuka program doktoral di Kampus Unhan, Sentul, Bogor, Minggu.
Sekretaris Jenderal PDIP itu akan menjalani Sidang Terbuka Program Doktor Unhan berjudul "Diskursus Pemikiran Geopolitik Soekarno dan Relevansinya terhadap Pertahanan Negara" di Kampus Unhan Sentul, pada Senin (6/6).
Menurut Hasto, dengan geopolitik Bung Karno, semestinya Indonesia mampu menjadi yang terdepan dalam misi perdamaian dunia.
"Persoalan Rusia-Ukraina, harusnya kita terdepan, persoalan di Timur Tengah harusnya kita yang terdepan lewat diplomasi luar negeri, diplomasi pertahanan," ujarnya.
Baca juga: Hasto akui deg-degan jelang Sidang Doktor Unhan
Baca juga: Sekjen PDIP: Kepemimpinan nasional harus miliki cakrawala global
Baca juga: Hasto: Pancasila harus menjadi "way of life" rakyat Indonesia
Selain itu, dia juga mengaitkan dengan dilibatkannya Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri yang dipercaya menjadi duta perdamaian di Semenanjung Korea.
Hal itu membuat Indonesia harus menjadi yang terdepan membawa misi perdamaian dunia.
"Ini merupakan tugas kita sebagai bangsa dan kita ini sebagai bangsa terlahir sebagai bangsa pemimpin. Bukankah Pancasila adalah suatu ideologi geopolitik bagi suatu tatanan dunia baru yang berkeadilan, tata dunia baru yang tidak ada penjajahan," paparnya.
Sekjen DPP PDI Perjuangan ini menjelaskan aspek yang melatarbelakanginya mengambil diskursus geopolitik dalam sidang gelar doktor itu.
Hasto mengaku sangat tertarik dengan pemikiran geopolitik Proklamator RI Bung Karno, yang dipantik oleh percakapan ketika dirinya bepergian bersama Presiden Kelima RI Megawati Soekarnoputri.
Politikus asal Yogyakarta itu menyampaikan tertarik dengan pemikiran Bung Karno setelah mendampingi Megawati saat berkunjung ke Slovenia pada 16 Mei 2012, untuk memperingati 50 tahun Gerakan Non-Blok.
Slovenia dulu tergabung dalam Yugoslavia, sebelum Yugoslavia terpecah menjadi tujuh negara.
Hasto mengatakan, Presiden Yugoslavia Josep Broz Tito memiliki hubungan dekat dengan Bung Karno dalam merancang Gerakan Non-Blok.
Hasto saat mendampingi Megawati, berada di hotel bersejarah yang menjadi lokasi pertemuan Bung Karno dengan Presiden Yugoslavia Josep Broz Tito ketika berlangsung Konferensi Gerakan Non Blok.
Alumnus UGM itu mendengar cerita Ibu Megawati mengenai benang merah pemikiran geopolitik Bung Karno yang dimulai sejak usia muda 16 tahun, tetapi telah memikirkan bagaimana Indonesia merdeka.
"Dari situlah Soekarno menggagas suatu pemikiran yang sangat genuine, sekaligus mengoreksi mengapa Eropa Barat cenderung melakukan ekspansi, melakukan penjajahan. Dari benang merah yang disampaikan Ibu Mega tersebut, saya tertarik atas gagasan geopolitik dan melihat bagaimana kepimpinan Indonesia bagi dunia itu luar biasa," kata Hasto.
Jejak perjuangan Bung Karno, tambah dia, juga terlihat di negara-negara Asia-Afrika, khususnya bangsa-bangsa Islam. Bung Karno turut berkontribusi memerdekakan sejumlah negara, seperti Maroko, Tunisia, Aljazair, dan Pakistan.
"Itu semua mendapatkan kemerdekaannya karena campur tangan dari Indonesia," kata Hasto.
Menurut Hasto, kepemimpinan Bung Karno itulah yang menjadi subjek penelitian untuk diangkat.
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2022