Masa depan energi panas bumi di Indonesia diyakini cukup cerah di tengah transisi menuju energi baru terbarukan (EBT) yang masif saat ini, apalagi sifat panas bumi yang bersih, aman dari sisi pasokan, dan harga cukup terjangkau menjadi salah satu alternatif terbaik bagi Indonesia.Indonesia juga dituntut untuk melakukan peralihan menuju energi bersih.
“Indonesia juga dituntut untuk melakukan peralihan menuju energi bersih,” kata Direktur Eksplorasi dan Pengembangan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Rachmat Hidayat kepada pers di Jakarta, Jumat.
Saat ini, Indonesia merupakan negara dengan potensi panas bumi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi panas bumi di Indonesia mencapai 23,7 GW. Dengan kapasitas pembangkit listrik panas bumi (PLTP) sebesar 2.276 MW, pemanfaatan panas bumi di Indonesia juga menempati posisi kedua setelah Amerika Serikat.
Baca juga: DPR wacanakan proyek panas bumi masuk tupoksi SKK Migas
Rachmat menceritakan bahwa Indonesia telah berpengalaman selama 39 tahun dalam pengembangan dan pengoperasian lapangan panas bumi, dimulai dengan PLTP Kamojang pada 1983.
“Panas bumi merupakan energi bersih yang sustainable apabila dilakukan manajemen reservoir dengan baik. Geothermal akan memegang peranan yang semakin penting bagi program dekarbonisasi untuk mendukung energi bersih,” kata Rachmat.
Rachmat menjelaskan PGE saat ini mengoperasikan sendiri lapangan panas bumi dengan kapasitas terpasang 672 MW, dan dengan skema Kontrak Operasi Bersama (Joint Operation Contract/JOC) sebesar 1.205 MW. “Dengan demikian, 83 persen kapasitas terpasang panas bumi di Indonesia berasal dari WKP PGE yang dikelola sendiri maupun yang dikerjasamakan dalam skema JOC,” katanya.
PGE juga merencanakan pengembangan sebesar 600 MW yang menjadikan kapasitas terpasang own operation menjadi 1.272 di tahun 2027. Rencana pengembangan tersebut setara dengan 32 persen target penambahan kapasitas terpasang PLTP dalam RUPTL 2021-2030.
“PGE juga sedang melakukan studi pengembangan terhadap pemanfaatan langsung panas bumi dan dan derivatif dari pemanfaatan energi panas bumi dalam program Beyond Energy,” kata Rachmat.
Baca juga: Peran BUMN dinilai sangat strategis dalam pengembangan panas bumi
Herman Darnel Ibrahim, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Perwakilan Industri, menambahkan Indonesia harus memaksimalkan pemanfaatan panas bumi untuk mencapai bauran energi 23 persen pada 2025, dan pada ujungnya karbon netral (Net Zero Emission) pada 2060. Dibandingkan dengan EBT yang lain, panas bumi memang memiliki banyak kelebihan.
“Salah satu yang utama adalah pasokannya stabil dan capacity factor-nya tinggi,” ujarnya.
Dengan sifat seperti itu, panas bumi berpotensi menjadi pembangkit beban dasar (base-load). Sampai saat ini, hanya pembangkit berbasis fosil yang menjadi pembangkit beban dasar, terutama PLTU yang berbahan bakar batu bara.
“Selain pasokan listriknya stabil, harganya termasuk murah, sementara itu, pembangkit EBT lain seperti air, tenaga surya, dan angin sangat bergantung pada cuaca," kata Herman.
Herman mengatakan PLTP bisa menjadi pembangkit beban dasar tapi tidak bisa menggantikan sepenuhnya PLTU. Sebagai contoh, berdasarkan Rencana Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, beban puncak di sistem kelistrikan Jawa-Madura-Bali pada 2021 mencapai 29,5 GW, sementara potensi panas bumi di kawasan ini hanya 8 GW.
“Pada 2060, prediksi saya produksi listrik panas bumi berkisar 150 TWh, sementara produksi listrik secara nasional akan mencapai 2.600 TWh,” kata Herman.
Baca juga: Pertamina Geothermal Energi raih "Best of The Best" APQ Award 2022
Herman mengusulkan strategi pengembangan yang berbeda antara Sumatera-Jawa dengan daerah lain yang memiliki potensi panas bumi.
“Untuk Sumatera dan Jawa, listrik dari panas bumi bisa masuk ke grid-nya PLN, untuk mengurangi pasokan listrik dari fosil,” katanya. Selain itu, masih ada tambahan EBT yang cukup besar dari energi air, surya dan angin. Hanya saja, untuk surya dan angin diperlukan baterai penyimpanan yang masif.
Tapi, untuk di luar Sumatera dan Jawa, lanjut Herman, maksimalisasi panas bumi bisa dilakukan dengan mempercepat pengembangan Kawasan Industri Berbasis Energi Terbarukan dan Kawasan Ekonomi Berbasis Energi Terbarukan.
“Agar pasokan listrik energi terbarukan match dengan pemintaan listriknya, dan sekaligus untuk pengembangan ekonomi di luar Jawa dan Sumatera,” katanya.
Selama ini, menurut Herman, potensi panas bumi di luar Sumatera dan Jawa tersebar dan kecil-kecil. Karena itu, pembangunan pembangkit panas bumi harus diselaraskan dengan demand di sekitar wilayah kerja panas bumi atau sebaliknya adanya potensi panas bumi di suatu daerah bisa mendorong pengembangan pusat-pusat industri atau pusat ekonomi. “Tentu saja ini dengan mempertimbangkan potensi industri atau ekonomi di wilayah tersebut,” ujar dia.
Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2022