Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengatakan Indonesia perlu segera meningkatkan edukasi terkait kesehatan reproduksi untuk mencegah semakin banyaknya aborsi yang dilakukan oleh seorang perempuan.
“Kita itu sangat minim edukasi tentang seks. Negara kita sering menganggap kalau sex education adalah hal yang tabu, karena itu dianggap sebagai pelajaran tentang hubungan seks. Padahal seks education itu hanya sebatas laki-laki dan perempuan,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat.
Menanggapi peristiwa ditemukannya tujuh janin dalam kotak makan di Sulawesi Selatan, Hasto menuturkan bahwa keputusan untuk melakukan aborsi oleh seorang perempuan adalah sebuah sinyal bahwa edukasi terkait kesehatan reproduksi sangat dibutuhkan sejak anak-anak duduk di bangku sekolah.
Sebab, katanya, aborsi lebih banyak memberikan dampak buruk pada ibu, seperti pendarahan hebat, infeksi, berkurangnya potensi untuk hamil serta meningkatkan potensi kanker mulut rahim (serviks) apabila dilakukan pada usia muda.
Sayangnya, menurut dia, berbagai dampak tersebut belum bisa dipahami oleh masyarakat. Minimnya pengetahuan kemudian membentuk perilaku-perilaku atau pola pikir yang menyimpang dalam masyarakat, sehingga memicu timbulnya penyakit tertentu atau gangguan pada alat reproduksi.
“Banyak kematian di negara kita itu sebenarnya bukan karena silent killer, tetapi justru karena penyakit yang preventable karena kita 'terlalu', sehingga akhirnya, perilaku seks mencerminkan ketidaktahuan dan akhirnya banyak membawa korban,” ucap Hasto.
Hasto mengatakan pemahaman kesehatan reproduksi bisa secara bertahap diberikan sejak anak duduk di kelas satu SD. Anak dapat mulai diajarkan untuk mengenal alat kelaminnya terlebih dahulu dan diajarkan cara membersihkannya.
Kemudian saat menginjak usia remaja, anak-anak dapat diperkenalkan dengan kanker mulut rahim (serviks) yang diakibatkan oleh seks yang aktif dilakukan pada usia muda beserta dampaknya bagi perempuan.
Sekolah juga bisa berinisiatif menambah wawasan para remaja dengan membentuk mata pelajaran tersendiri ataupun ekstrakulikuler yang mewadahi pengetahuan terkait kesehatan reproduksi tersebut.
Menurutnya, peningkatan pengetahuan bisa menjadi senjata bagi pemerintah untuk menuntaskan dan menurunkan angka aborsi yang tidak diketahui jumlahnya secara riil di dalam masyarakat.
BKKBN sendiri saat ini telah membentuk Tim Pendamping Keluarga (TPK) yang berjumlah sebanyak 600 ribu tim. Selain untuk mencegah anak terkena kekerdilan (stunting), tim itu bertugas mendata setiap ibu hamil yang ada untuk diberikan pendampingan sekaligus edukasi kesehatan.
Dengan demikian, diharapkan jumlah kelahiran yang tidak diinginkan dapat berkurang sekaligus menghindari perilaku aborsi yang membahayakan jiwa ibu dan setiap anak yang akan dilahirkan di masa depan.
“Semakin banyak yang unwanted pregnancy, semakin berisiko terjadinya keguguran atau pengguguran. Tentu ini sesuatu yang berkolerasi, saya rasa ada faktor itu yang saling terkait,” ujar dia.
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022