"Solusinya adalah kita mesti genjot pangan lokal, kita harus diversifikasi pangan impor menjadi pangan lokal. Ganti gandum dengan umbi-umbian, dengan singkong, dengan lobak, dan lain sebagainya," kata Dedi dalam keterangannya yang dikutip di Jakarta, Sabtu.
Dedi menyebutkan harga-harga pangan yang meningkat signifikan pada saat ini merupakan gejala dari krisis pangan yang mulai terjadi. Krisis pangan tersebut diakibatkan oleh kurangnya pasokan pangan di dunia karena perubahan iklim.
Naiknya permukaan air laut yang membanjiri lahan pertanian, kemarau panjang, kebakaran hutan, dan serbuan hama pada lahan pertanian menyebabkan penurunan produksi komoditas pertanian yang berakibat pada minimnya pasokan dan melonjaknya harga pangan.
Menurut Badan Pangan Dunia (FAO), kata Dedi, Indonesia adalah salah satu negara yang terdampak dari krisis pangan global dikarenakan jumlah penduduknya yang banyak. Oleh karena itu menurut Dedi, Indonesia harus bisa memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri dan tidak tergantung dengan komoditas pangan impor.
"Umbi-umbian, pangan lokal itu berlimpah sesungguhnya di negara kita. Tapi sayangnya kenapa orang Indonesia kok sukanya mie yang berasal dari gandum, padahal gandumg itu pangan subtropis," kata Dedi.
Dia menegaskan agar Indonesia bisa mendiversifikasi pangan dari mie yang terbuat dari gandum, menjadi mie yang berbahan dasar dari pangan lokal seperti singkong dan sagu.
"Ganti gandum dengan umbi-umbian dengan singkong, dengan sagu, dengan pisang. Ganti jeruk mandarin dengan jeruk Medan, jeruk Pontianak, dan lain sebagainya. Ganti gula pasir jadi gula kelapa, jadi gula aren, atau gula merah, itu yang harus kita lakukan," kata Dedi.
Dia menekankan agar Indonesia menggenjot pangan lokal dari hulu sampai hilir, yaitu meningkatkan produktivitas, hilirisasi, dan olahannya. "Karena olahan inilah yang akan mendorong dari produksinya," katanya.
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2022