Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menekankan bahwa terjadinya kekerdilan pada anak (stunting) merupakan sebuah cerminan dari buruknya kesehatan sumber daya manusia (SDM) suatu bangsa.
“BKKBN punya visi dan misi, pertama kita membangun penduduk tumbuh seimbang, kedua harus bisa mewujudkan keluarga berkualitas. Makanya berbicara stunting, itu merupakan salah satu cerminan dari tidak berkualitasnya SDM,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Senin.
Hasto mengatakan dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas, memang dibutuhkan berbagai peningkatan taraf pendidikan maupun kesehatan. Hanya saja, permasalahan stunting dapat mempengaruhi kedua hal tersebut.
"Sebab, stunting memberikan dampak berkelanjutan pada kemampuan seorang anak untuk menjadi produktif. Anak stunting cenderung memiliki kemampuan intelektual yang rendah, pertumbuhan tinggi badan yang tidak optimal serta mudah terkena penyakit," kata Hasto.
Baca juga: BKKBN: Rencanakan kelahiran cegah ledakan penduduk non-produktif
Dampak berkelanjutan tersebut, kata dia, kemudian menjadi beban bagi pembangunan negara. Secara kuantitas (jumlah), angka penduduk yang produktif memang tinggi. Namun bukan berarti semua orang yang produktif mampu bekerja atau mendapatkan penghasilan.
“Inilah masalahnya, mereka yang di usia produktif belum tentu menjadi produktif. Mungkin malah tidak produktif. Padahal baik produktif maupun tidak mereka sudah pasti konsumtif, inilah penduduk bisa menjadi musibah bukan berkah, menjadi beban bukan modal pembangunan,” ujar Hasto.
Hasto menambahkan, dalam melakukan percepatan penurunan stunting di Tanah Air, semua pihak harus memegang teguh lima rukun untuk bisa menurunkan angka prevalensi stunting menjadi 14 persen pada tahun 2024.
Rukun pertama adalah komitmen seluruh pihak untuk menurunkan angka tersebut. Setiap penanggulangan ataupun dampaknya harus dapat dipikirkan bersama dengan matang dan dijalankan secara konkret di lapangan.
Baca juga: BKKBN luncurkan Program Bapak Asuh Stunting tingkatkan gizi pada anak
Kedua adalah Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) yang masif dijalankan. Jumlah anak stunting dapat menurun apabila masyarakat sampai dengan lapisan terbawah mengetahui bahwa stunting terjadi karena kurangnya asupan gizi dan protein hewani pada anak, pola asuh yang salah atau lingkungan yang tidak bersih dan layak huni.
Ketiga yakni memastikan setiap program yang dibangun menjadi konvergen. Artinya, setiap program atau anggaran yang dibuat haruslah tepat sasaran. Sedangkan rukun keempat adalah memastikan tidak ada satu pun wilayah yang rawan pangan.
Menurut dia, setiap wilayah harus terjamin ketersediaan pangannya. Bahkan jika bisa, semua bahan pangan telah terfortivikasi atau mengandung zat besi dan asam folat. Bukan yang terlalu banyak karbohidrat.
Baca juga: Kelas Orang Tua Hebat BKKBN dorong inovasi keluarga cegah stunting
“Terakhir itu data, itu sangat penting. Jangan lupa juga memanfaatkan hasil-hasil riset dan pernyataan para ahli di perguruan tinggi. BKKBN dalam hal ini sudah membuat RAN PASTI atau Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Stunting,” kata dia.
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2022